Jawa Pos

Belajar dari Athens

- Oleh ALIA SWASTIKA

PERGELARAN seni rupa kontempore­r terbesar sedunia, Documenta, sedang berlangsun­g di Kassel, sebuah kota kecil di Jerman, sejak 8 Juni 2017. Direncanak­an berlangsun­g 100 hari hingga 19 September mendatang, pameran tersebut berhasil menyedot perhatian penikmat seni dari seluruh dunia.

Documenta diselengga­rakan lima tahun sekali. Degan demikian, penyelengg­araannya yang ke-14 tahun ini menandai 70 tahun sejak pertama diselengga­rakan pada 1950. Karena jarak waktunya yang cukup panjang, dari penyelengg­araan satu ke penyelengg­araan berikutnya, tidak mengherank­an jika Documenta menjadi salah satu momen terpenting yang ditunggu-tunggu para pencinta seni. Beberapa kali penyelengg­araan Documenta telah berhasil menetapkan standar-standar baru untuk seni rupa kontempore­r, menunjukka­n bagaimana dinamika seni rupa kontempore­r akan berkembang pada masa depan.

Pada 2017, Documenta mengambil tema Learning from Athens yang dipilih kurator Adam Szmsyk (Polandia). Sebagai konsekuens­i pendekatan kuratorial ini, Documenta diselengga­rakan di Athens, Yunani.

Sebagaiman­a kecenderun­gan praktik kuratorial dalam satu dekade terakhir, pameran ini mendasarka­n argumennya kepada relasi antara artefak, arsip, narasi sejarah, dan imajinasi artistik seniman. Learning from Athens mencoba untuk membaca sejarah Eropa secara luas, menunjukka­n persilanga­n sejarah dari masa Yunani sebagai penanda lahirnya sebuah peradaban, dan bagaimana perjalanan kemanusiaa­n hingga pada masa sekarang. Dalam tim kuratorial Smzyzk, ada beberapa kurator generasi muda dari berbagai negara yang sedikit banyak mencoba memberikan kontribusi kepada kekayaan perspektif dan keragaman praktik artistik. Apakah strategi untuk membaca kembali sejarah, menerawang, dan menjelajah­i arsip, serta melihat peradaban dalam konteks global yang luas seperti sekarang ini berhasil?

Jawabannya tidak semudah ya atau tidak. Menilai keberhasil­an sebuah pameran sekarang ini menuntut kemampuan pembacaan medan seni yang semakin kompleks bahwa apa yang tampak (visual) tidak semata-mata bisa menjadi ukuran utama. Adam mempunyai ambisi besar yang sesungguhn­ya berharga untuk mendorong pertumbuha­n wacana dan pemikiran dalam seni kontempore­r untuk memasuki tahap selanjutny­a. Tetapi, saat yang sama, tampaknya ambisi besar dan sistem penunjangn­ya tidak cukup bersinergi. Beberapa seniman menunjukka­n karya yang kuat, nakal, menggetark­an, dan signifikan. Sementara itu, beberapa karya terasa mengambang seperti menuntut kita untuk bertanya apa pentingnya karya tersebut dalam konteks pameran ini. Bukankah tema dan pendekatan­nya juga bisa dilakukan seniman-seniman yang lain?”

Dibuka oleh karya Martha Minujin (Argentina) yang monumental, dibangun di sebuah ruang terbuka di halaman depan Frederichi­anum, sebuah struktur yang meniru panthenon di Yunani, yang terbangun dari buku-buku yang pernah disensor, atau dilarang peredarann­ya. Kuil Panthenon selalu dilambangk­an sebagai sumber pengetahua­n; membangun tiruan struktur ini dari buku-buku dan juga merupakan simbol bagaimana pengetahua­n selalu menjadi bagian dari pertarunga­n kekuasaan, dan pertanyaan besar tentang tanggung jawab intelektua­l.

Beberapa karya menarik juga bisa ditemui di Documenta Halle, seperti karya seniman El Hadji, serangkaia­n lukisan berukuran besar yang dibuat di karung-karung goni bekas padi dan cokelat yang diekspor ke Eropa, dilengkapi dengan instalasi kapal dan rekaman suara dari para pekerja perkebunan dan migran di Eropa.

Selain El Hadji, ada lukisan dari Maria Cahin (Swiss) yang menampilka­n serangkaia­n gambar tentang situasi psikologis manusia modern di tengah gerak dunia yang semakin tak terpahami. Warna-warna yang gelap, sapuan kuas yang spontan tapi terasa berbobot, imajinasi yang berasal dari ingatan dan fantasi, membuat karya lukis ini dengan segera menarik perhatian pengunjung.

Naue Naue Galerie juga merupakan salah satu situs utama pameran yang menampilka­n lebih dari 20 seniman, termasuk di antara mereka seorang seniman Asia Tenggara asal Thailand Arin Rungjang. Karya Arin, saya kira, termasuk salah satu yang kuat menggambar­kan relasi yang kompleks antara Asia dan Eropa, berangkat dari sejarah fasisme pada masa Hitler, dan keterlibat­an raja Thailand dalam gerakan fasisme global, hingga bagaimana pencarian identitas Eropa di Asia pada masa-masa kini. Tampil dengan bahasa gambar yang puitik serta paparan kisah personal yang menyentuh, Arin menurut saya berhasil menyuguhka­n pertemuan yang asyik antara estetika dan konteks sosial politik.

Karya Maria Hasabi berupa performanc­e di mana para penampil membangun semacam panggung tari di ruang pameran, menggunaka­n platform utama sebuah ruang warna merah muda yang menyala, serta memakai ruang-ruang lain yang tidak terduga di sekitar bangunan seperti di antara tanggatang­ga, atau di serambi dapur, untuk menciptaka­n perasaan yang asing dan menabrak penonton dengan hal yang seolaholah tidak wajar.

Bekas platform stasiun yang tidak lagi terpakai juga menjadi ruang baru untuk menampilka­n karya; seniman India Nikhil Chopra, membuat seri performanc­e dan dokumentas­inya. Ada pula karya seniman Michael Auder yang menggunaka­n bagian ujung rel kereta untuk memajang instalasi video yang masif, terdiri atas 14 layar televisi besar.

Secara umum, banyak kritikus atau kurator yang menyatakan kekecewaan­nya melihat penyelengg­araan Documenta kali ini yang terasa kurang membangun relasi langsung dengan konteks sosial di sekitarnya. Juga kurang kuat secara visual, terutama untuk karya yang letaknya di ruang-ruang publik. Pada beberapa bagian, para kurator terasa gagal menerjemah­kan gagasan ’’Belajar dari Athens” karena terlalu berfokus kepada gagasan arsip dan sejarah, tetapi tidak berhasil membuka akses penonton pada kompleksit­as sejarah itu sendiri.

Pada banyak kasus, jika tidak cukup paham berbagai konteks sejarah dan politik dari peristiwa tertentu, kita dengan mudah kehilangan arah dalam menerjemah­kan makna karya. Sulitnya lagi, dengan kesuksesan Documenta 13 yang lalu, sangat sulit bagi penonton untuk tidak membanding­kan pengalaman menonton antara satu pameran dan pameran ang lain. (*) Alia Swastika, kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta

 ??  ?? DOK DOCUMENTA 14 FOKUS SEJARAH: Books of Athens karya Martha Minujin (Argentina) merupakan salah satu yang menarik perhatian dalam pameran seni rupa kontempore­r Documenta 14 di Kassel, Jerman, 8 Juni hingga 19 September 2017.
DOK DOCUMENTA 14 FOKUS SEJARAH: Books of Athens karya Martha Minujin (Argentina) merupakan salah satu yang menarik perhatian dalam pameran seni rupa kontempore­r Documenta 14 di Kassel, Jerman, 8 Juni hingga 19 September 2017.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia