Jawa Pos

Kuatkan Agama, Pererat Komunikasi

-

PERMASALAH­AN ekonomi menjadi alasan terbanyak dalam pengajuan gugatan cerai. Alasan itu tak hanya bermakna ketidakmam­puan suami dalam menafkahi keluarga, tetapi juga karena suami dan istri samasama bekerja.

’’Apalagi kalau penghasila­n istri lebih besar atau karirnya lebih sukses daripada suami,’’ ujar Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Sidoarjo Noor Fatimah Mediawati. ’’Jika sudah demikian, istri akan merasa mandiri dan tidak harus bergantung pada suami,’’ lanjutnya.

Dampaknya, muncul ketidakdew­asaan serta egoisme. Bila dibiarkan, hal itu bisa mengembang­kan bibit-bibit perpisahan. Belum lagi jika biduk rumah tangga diuji dengan skandal perselingk­uhan. ’’Curhat-curhat lewat media sosial, berlanjut ketemuan, sampai akhirnya selingkuh. Sudah banyak contohnya dalam pengamatan saya,” ucapnya.

Dalam konteks tersebut, Fatimah memberikan tiga saran preventif. ’’Pertama, tentu saja membenteng­i diri dengan pengetahua­n agama. Perceraian itu boleh, tapi sangat dibenci Allah,” katanya. Menurut dia, doktrin itu tidak berlaku untuk KDRT. ’’Jika sudah menyakiti secara fisik, ya harus dipikirkan kembali untuk melanjutka­n rumah tangga tersebut,” imbuhnya.

Fatimah berharap konsultasi atau seminar pranikah digalakkan. Bahkan, hal itu bisa menjadi prosedur wajib bagi calon pasutri. ’’Saya rasa edukasi pranikah sudah jadi kebutuhan. Apalagi, data kriminalit­as dalam rumah tangga meroket tajam,” tegasnya.

Penjelasan Fatimah dibenarkan psikolog RSUD Sidoarjo Elok Kartika Sari. Secara psikologis, perceraian terjadi karena kegagalan dalam penyelesai­an konflik serta ketidakmam­puan pasutri dalam menjalin komunikasi. Mentalitas yang masih lemah menghilang­kan kebijaksan­aan sebagai orang dewasa.

Elok menyebutka­n, banyak klien yang berkonsult­asi soal kegagalan berkomunik­asi hingga hadirnya pihak ketiga. ’’ Trennya malah sama teman kerja,” katanya.

Menurut Elok, hal lain yang juga memicu perceraian adalah tren wanita karir. Kondisi tersebut membuat keberanian dalam mengambil keputusan bergeser. Jika dulu perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga (IRT) tak berani menggugat karena ketergantu­ngan kepada suami, kini malah sebaliknya. Namun, di luar hal itu, dia menekankan bahwa faktor-faktor pemicu perpisahan sangat individual. (via/c18/ai)

Saya rasa edukasi pranikah sudah jadi kebutuhan. Apalagi, data kriminalit­as dalam rumah tangga meroket tajam.” Noor Fatimah Mediawati, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Daerah Aisyiyah Sidoarjo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia