Perempuan Sendiri saat Berlatih di Warkop
Bermain kartu remi menjadi hobi Diana Aulia Rahman. Dia terus mengasah kemampuannya. Diana yang masih berusia 16 tahun ikut menyumbangkan medali perunggu pada Kejurnas Bridge 2017.
TAWA anak-anak berseragam Pramuka meramaikan salah satu ruang kelas di SMAN 1 Gresik. Mereka mengelilingi sebuah meja. Satu set kartu remi dibagi rata. Duduk berhadapan, empat anak bergantian menaruh kartu di atas meja. Seorang pelajar terlihat berdiri untuk mengawasi permainan.
Anak-anak itu terlihat asyik bermain kartu. Sesekali mereka melempar guyonan. Kartu yang habis menjadi tanda berakhirnya permainan. Pemain yang kalah jadi bahan guyonan. ’’Mereka masih perlu banyak belajar. Kurang cepat mengambil langkah,’’ kata Diana Aulia Rahman.
Pelajar kelas XII SMAN 1 Gresik tersebut lantas mengambil secarik kertas. Teknik bermain cepat dipaparkannya. Dia mengajari teman-temannya dengan sabar. Ya, mereka sedang bermain bridge. Diana adalah mentor empat siswa itu.
Ekstrakurikuler (ekskul) bridge di SMAN 1 Gresik dibentuk pada 2016. Diana bukanlah pelatih utama. Namun, karena kemampuannya di atas rata-rata, Diana diminta mendampingi pengajar. Saat pelatih absen, Diana mengambil peran total.
Bukan tanpa alasan Diana terpilih sebagai pendamping rekan-rekannya. Skill- nya cukup mum puni. Soal bridge, kemampuannya melebihi pelajar lain yang masih berkutat dengan ilmu dasar. Apalagi, Diana sering berlaga dengan menghadapi atlet nasional.
Prestasi putri kedua Andi Winarko tersebut memang membanggakan. Diana sudah empat kali mewakili Jatim di Kejurnas Bridge 2017 pada Juli lalu. Tahun ini, dia kembali lolos seleksi. Bersama lima temannya, dia ikut melambungkan nama Jatim. ’’Memang belum juara. Namun, sudah bersyukur menggondol medali perunggu,’’ tuturnya.
Diana mengatakan, tidak mudah bagi dirinya untuk mengikuti kompetisi. Sebab, kompetitornya memiliki jam terbang yang tinggi. Mereka adalah atlet nasional. Di antara mereka, Diana tergolong paling muda. Bahkan, ada pemain yang berusia 70 tahun.
Keterbatasan waktu juga menjadi kendala persiapan lomba. Karena Diana masih berstatus pelajar, otomatis tugas dari sekolah lumayan banyak. Dia harus mengatur waktu untuk berlatih. ’’Sulit cari lawan berlatih,’’ ucapnya.
Menurut Diana, teman tandingnya tidak banyak. Kalaupun bisa, mereka masih kategori pemula. Diana menyebutkan, olahraga bridge kurang mendapat perhatian anak-anak muda di Kota Pudak. Sebab, terkesan ada nuansa judi. Tak banyak sekolah yang mengizinkan siswanya membawa remi.
Dia pun bersyukur karena sekolahnya demokratis. Tak ada kesulitan berlatih. Tumpukan kartu sering dibawanya ke sekolah. Saat ini, dia memiliki 40 set kartu remi.
Diana mengenal bridge sejak kelas III. Kebetulan, orang tuanya merupakan pengurus harian Komunitas Bridge Semen Gresik. Semula, Diana menganggap olahraga kartu tersebut tidak berguna. Hanya membuang waktu. Namun, karena sering melihat, Diana makin tertarik dan menekuninya. Ayahnya menjadi guru.
Karena tak banyak tempat bertarung, dia sering ikut ayahnya pelesiran. Warung kopi (warkop) jadi sarana berlatih. ’’Bermain dengan bapak-bapak perokok sudah biasa. Kadang malu juga sih karena perempuan sendiri,’’ kata Diana.
Kini, dia terus menyadarkan teman-temannya. Sebab, masih ada teman yang memandang negatif permainan kartu. Padahal, manfaatnya banyak. Permainan kartu bisa menjadi sarana belajar. Selain mengasah logika, ada upaya untuk menguatkan ingatan. Belum lagi angka-angka untuk mempelajari matematika. (c18/dio)