Cari Damai, Tak Semua Rohingya Dukung ARSA
SITTWE – Kekerasan yang terus berulang terhadap muslim Rohingya di kawasan Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, perlu segera diakhiri. Bukan hanya karena tewasnya ratusan warga Rohingya dan hampir 300 ribu lainnya mengungsi ke Bangladesh
Damai diperlukan supaya muslim lain tidak ikut kena imbas.
Keinginan itu disampaikan komunitas muslim Rohingya yang berada di Desa Ka Din Pite, Sittwe. Di desa tersebut ada sekitar 1.437 muslim. Mereka mengatakan lelah dengan konflik yang terjadi. Saat ini mereka sudah merasa tenang berada di Sittwe meski tidak tinggal di kota.
’’Kami hanya ingin damai, tidak ada lagi konflik karena bisa berdampak ke kami,’’ ujar Maung Lay, 50, kepala desa. Muslim Rohingya yang ada di tempat itu sudah tinggal 50 tahun. Meski memiliki banyak keterbatasan, mereka bisa hidup dalam damai.
Maung Lay mengungkapkan, mereka tahu betul arti penting perdamaian. Karena itu, mereka tidak pernah neko-neko. Segala aturan yang dikeluarkan pemerintah Myanmar diikuti. Termasuk untuk memiliki kartu identitas meski tipe sementara ( white card) dan bisa bahasa Myanmar dengan baik.
Bahkan, saat kerusuhan 2012 meletus di Sittwe dan menyebabkan masjid berusia 800 tahun dibakar, mereka tetap anteng di desa. Mereka tidak mau ikut campur dan berujung pada terusirnya mereka dari lahan yang disediakan pemerintah. ’’Saat itu terjadi, kami tetap di sini,’’ tandasnya.
Warga Rohingya lainnya, Ko Khin Tun, menambahkan bahwa keinginan terhadap damai itu membuat mereka tidak mau mendekat dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Seperti diberitakan, ARSA-lah yang menyerang pospos keamanan Myanmar.
Serangan itu lantas dijadikan alasan militer Myanmar untuk melakukan pembalasan. Buntut pembalasan brutal itu, 400-an warga Rohingya tewas dan hampir 300 ribu lainnya mengungsi ke Bangladesh. Belakangan, ARSA merespons dengan mengancam mengebom kota-kota besar.
Pemerintah Myanmar sudah geregetan dengan kelompok itu. Apalagi, mereka, menurut pemerintah Myanmar, sudah berbaiat terhadap ISIS dan ingin mendirikan negara Islam di Myanmar. ’’Kami tidak tahu mereka, tidak mendukung, dan tidak memiliki kaitan apa pun dengan mereka,’’ tegasnya.
Tidak semua muslim Rohingya mendukung ARSA. Menteri Kesejahteraan, Pertolongan, dan Permukiman U Win Myat Aye membenarkan hal itu setelah mendapatkan beberapa laporan. Yakni, muslim Rohingya di Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung meminta bantuan pemerintah.
’’Beberapa (warga Muslim, Red) menghubungi kami untuk mengatakan bahwa wilayah mereka tidak diserang. Mereka juga tidak melakukan serangan apa pun dan mereka bersama-sama untuk menghadapi kemungkinan diserang,’’ terangnya seperti dikutip dari Myanmar Times.
Kemungkinan untuk damai mulai terbuka. Sebab, Sabtu malam (9/9) ARSA sebagai pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya konflik sejak 25 Agustus mengumumkan gencatan senjata. Gencatan senjata itu bersifat sementara karena ARSA ingin bantuan sosial bisa masuk.
’’The Arakan Rohingya Salvation Army dengan ini menyatakan penghentian sementara operasi militer,’’ tulis ARSA di akun Twitter @ARSA_Official.
Cuitan ARSA yang meminta gencatan senjata dibalas Deputi Direktur Umum Kantor Presiden Myanmar Zaw Htay melalui akun resminya, @ZawHtayMyanmar. ’’Kami tidak memiliki kebijakan untuk negosiasi dengan teroris,’’ katanya lengkap dengan tagar ARSA teroris. (myanmartimes/ aljazeera/c10/ang)