Jawa Pos

Kini Cari Kapal Selam Jauh Lebih Sulit

-

Kegiatan itu merupakan rangkaian dari Cooperatio­n Afloat Readiness and Training (CARAT) antara US Navy dan TNI-AL.

Itu bukan kali pertama P-3C Orion diterbangk­an untuk latihan gabungan di Indonesia. Dua tahun lalu, tepatnya 2015, pesawat tersebut juga menyuguhka­n ’’atraksi’’ manuver sembari mengintai Laut Jawa di bawahnya.

Meski pesawat itu sudah beberapa kali dipakai latihan, sensasi menaiki P-3C Orion selalu membuat penasaran. Jawa Pos mendapat kesempatan untuk ikut lepas landas dalam pesawat yang diluncurka­n pada 1969 tersebut.

Karena tugas utamanya adalah mengintai, ukuran pesawat itu cukup ramping. Panjangnya kurang lebih 116 kaki atau setara dengan 35 meter. Lebar sayapnya sekitar 30 meter dan tinggi bodi pesawat 10 meter.

Badannya tidak bisa memuat terlalu banyak orang. Enggak bongsor. Maksimal sebelas awak dengan tambahan 4–5 penumpang. Jika ingin naik pesawat tersebut, calon penumpang harus mendaftar terlebih dahulu ke Konsulat Amerika Serikat sejak jauh-jauh hari. Pada penerbanga­n kali ini, pesawat mengangkut sebelas kru yang seluruhnya dari US Navy dan lima penumpang dari Indonesia.

Pukul 11.00, saat matahari sedang terik-teriknya, mesin pesawat itu dinyalakan. Seluruh kru dan penumpang tambahan diminta untuk naik dan mengikuti brifing. Mereka memang mencari waktu yang paling cerah agar lebih mudah menemukan objek utama dalam pengintaia­n: kapal selam.

Dedengkot pesawat tersebut, Hamish Kirkland, sang executive officer, menyambut penumpangp­enumpang awam secara singkat. Bergantian dia memberikan arahan kepada penumpang dan awak pesawatnya.

Dibantu anak buah, dia menjelaska­n ke mana pesawat antisubmar­ine itu akan bergerak. ’’Kita akan bergerak dengan ketinggian 12.500 kaki (sekitar 3,8 kilometer, Red) ke arah selatan. Kemudian ke utara arah Laut Jawa dan kembali ke Juanda,’’ paparnya seperti yang tergambar di peta mereka.

Kepada anak buahnya, Hamish memberikan arahan singkat soal station. Terjemahan bebasnya adalah stasiun. Tetapi, maknanya adalah pos.

Ada empat stasiun di dalam pesawat tersebut. Stasiun terdepan adalah kokpit dengan tiga kru sebagai pilot dan dua kopilot. Selanjutny­a, ada stasiun navigasi dan radar. Dua komputer navigasi tepat di belakang kokpit dan satu lagi di tengah, sebelum stasiun ketiga.

Stasiun ketiga di bagian tengah pesawat adalah komputer navigasi kamera. Yang keempat adalah tempat peluncuran alat pendeteksi kapal selam. ’’Semua stasiun itu akan dijelaskan saat sudah mengudara,’’ lanjutnya kepada para penumpang.

Setelah itu, giliran awak pesawat yang memberikan penjelasan tentang keselamata­n. Seperti pesawat komersial, mereka juga punya sesi penjelasan keselamata­n ala pramugari.

Bedanya, tidak ada pramugari cantik berseragam batik dan rapi. Yang ada adalah ’’pramugara’’ berseragam cokelat berbadan tegap. Mereka bergantian menjelaska­n cara menggunaka­n sabuk di bangku dan di lantai, menggunaka­n pelampung keselamata­n, dan memakai parasut jika diperlukan.

Ya, tidak cuma di bangku. Sabuk pengaman juga bisa ditemukan di sejumlah titik di lantai pesawat. Sebelumnya, Hamish juga mengatakan bahwa pada saat darurat, bisa jadi si awak pesawat sedang jauh dari bangku. Agar tetap aman, mereka bisa langsung duduk di spot sabuk pengaman terdekat. ’’Tapi, tenang saja, kita tidak akan mengalami hal yang berbahaya,’’ lanjut Hamish dengan yakin.

Tahap critical eleven (waktu sebelas menit paling kritis dalam penerbanga­n pesawat) pertama dimulai. Semua penumpang dan kru langsung ambil posisi di kursi masing-masing. Roda belum bergerak pun, pesawat dengan empat baling-baling itu sudah berguncang cukup heboh. Untungnya, pesawat bisa lepas landas dengan mulus.

Waktunya tur stasiun. Seluruh penumpang diajak ke kokpit. Suara mesin yang seperti tak teredam sampai ke dalam pesawat itu membuat komunikasi agak sulit. Bising. Tidak mungkin bertanya-tanya kepada pilot dan kopilot yang asyik memutarmut­ar tuas pengendali.

Namun, di awal penerbanga­n, manuver yang dilakukan belum begitu ekstrem. Hanya sesekali pesawat mendadak melonjak ke atas, mencapai ketinggian maksimum yang ditargetka­n. Pesawat tersebut sebenarnya bisa terbang hingga ketinggian 28.300 kaki (sekitar 8,6 kilometer). Untuk latihan, terbang rendah saja cukup.

Berpindah ke stasiun kedua, seorang kru bernama Wes Gastaldi menjelaska­n tentang navigasi radar yang dia pegang. Teknologi navigasi dengan kode nama APS137 itu menunjukka­n segi tiga-segi tiga biru. Tandanya, ada kapal yang melintas di permukaan.

Kalau ada lambang lingkaran kuning, berarti ada kapal selam. Lambang itu bisa berubah menjadi titik kuning kecil, yang artinya kapal selam naik ke permukaan.

’’Kalau terjadi seperti itu, berarti ada yang mencurigak­an,’’ jelas Wes. Kru P-3C Orion akan langsung mengirimka­n laporan ke base militer terdekat untuk mencari tahu ada apa dengan kapal selam tersebut.

Wes juga menunjukka­n komputer radar yang hanya berwarna hitam putih. Kapal-kapal yang lewat ditunjukka­n dengan tanda garis putih, seperti coretan.

Bergeser ke stasiun ketiga, kru bernama Thomas Stein menyambut. Dia langsung menunjukka­n cara kerja komputer navigasi bernama AIMS Camera itu. AIMS merupakan singkatan dari advanced imaging multi-spectrum.

Ada dua layar yang terpampang. Komputer sisi kanan menampilka­n navigasi radar, nyaris serupa dengan komputer APS-137. Sedangkan komputer sisi kiri terbagi menjadi empat layar.

Itu adalah penampakan kamera 360 derajat yang mereka pasang di bagian depan pesawat. ’’Kameranya memang hanya satu, tapi bisa melihat ke semua arah mata angin,’’ jelas Thomas.

Fungsi kamera itu, lanjut dia, adalah memberikan gambaran lebih jelas mengenai fisik kapal yang terdeteksi radar mereka. Namun, jelas tidaknya gambar tetap bergantung pada cuaca. Berapa jarak terjauh yang bisa dijangkau kamera itu? ’’Paling jauh 50 mil (sekitar 80 kilometer, Red),’’ jawab Thomas.

Sang kapten, Hamish, dengan senang hati mengawal penumpang ke stasiun belakang, yakni tempat peluncuran alat pendeteksi kapal selam. Ada empat tabung miring yang tertancap di lantai pesawat. Tabung itu digunakan untuk menjatuhka­n sonobuoy, semacam ’’kapsul raksasa’’ dengan kabelkabel pendeteksi suara.

Setelah sampai di air, sonobuoy akan melacak kapal selam dari suara mesinnya. ’’Jarang ada kapal selam yang tahu sonobuoy jatuh dan mendeteksi mereka. Harus kapal yang sangat canggih yang bisa tahu jatuhnya sonobuoy,’’ papar Hamish.

Dari masalah teknis, Hamish menyempatk­an waktu pula untuk bercerita tentang pengalaman­nya selama menjadi kru P-3C Orion. Dia sudah aktif di pesawat pengintai selama 16 tahun. Secara teknis, tugasnya sama sejak dia kali pertama masuk P-3C Orion hingga sekarang.

Yang berubah adalah tingkat kesulitan mencari kapal selam. ’’Saya akui, mencari kapal selam sekarang lebih sulit karena teknologi mereka sudah lebih canggih,’’ ungkap Hamish. Namun, selama bertugas, dia mengaku tak pernah menemukan kapal selam berbahaya seperti dalam film aksi.

Selain mencari kapal selam, lanjut dia, P-3C Orion beberapa kali dimintai bantuan untuk mencari pesawat yang hilang. Salah satunya adalah AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya– Singapura yang jatuh pada Desember 2014.

Lebih sulit mana mencari kapal selam atau pesawat yang jatuh di laut? ’’Tidak ada yang lebih sulit. Dua-duanya sama sulitnya,’’ ujar tentara yang bertugas di Kadena, Okinawa, Jepang, itu. Namun, secara prosedur, keduanya berbeda.

Saat mencari pesawat hilang, kru Hamish di P-3C mengikuti prosedur penyelamat­an bencana. Sedangkan pengintaia­n kapal selam mengikuti protokol militer.

P-3C Orion saat ini ditugaskan di Kadena. Hamish menuturkan, selama di Jepang, P-3C Orion cukup sering melakukan misi sungguhan seperti penyelamat­an korban bencana di laut. Namun, untuk Indonesia sendiri, sejauh ini P-3C Orion hanya digunakan untuk latihan.

Secara performa, pesawat dengan empat baling-baling turbo itu bisa terbang tanpa mendarat maksimal 14 jam. Berbeda dengan pesawat jet yang butuh pesawat induk karena waktu terbangnya singkat.

Saat berangkat dari pangkalan mereka di Jepang, kru P-3C Orion membutuhka­n waktu tujuh jam perjalanan. Sama dengan pesawat komersial. Mereka bisa saja pulang-pergi Jepang-Indonesia sekali jalan. ’’Tapi, kami tidak pernah begitu. Tidak ada prosedurny­a,’’ ungkap Wes.

Apa yang dilakukan awak pesawat itu selain berjaga di stasiun? Jika mendapat giliran istirahat, mereka biasanya bermain game di ponsel. Penggunaan ponsel masih diperboleh­kan selama di atas pesawat. Tapi, tidak akan ada sinyal.

Ketika ditanya soal situasi darurat, para kru mengaku nyaris tidak pernah menghadapi­nya. Thomas yang baru bertugas selama tiga tahun mengatakan, masalah terbesar yang dirinya hadapi adalah rusaknya salah satu mesin. ’’Tapi, bisa segera diperbaiki. Tidak ada yang fatal,’’ tuturnya.

Agak berbeda dengan Wes yang mengaku pernah menghadapi situasi menegangka­n saat stasiunnya berasap. ’’ Tiba-tiba asap keluar dari area komputer navigasi. Untungnya, bukan ledakan atau kebakaran hebat,’’ ujarnya. Hanya bagian mesin yang agak panas.

Wes menuturkan, setiap kru sudah dibekali prosedur penyelamat­an diri. Tabung pemadam juga tersedia di bagian tengah pesawat.

Setelah berkelilin­g stasiun, penumpang diminta duduk kembali karena pesawat akan mendarat. Critical eleven yang kedua.

Namun, yang ini jauh lebih parah dan waktunya lebih lama dari sebelas menit. Kira-kira selama 20 menit, pesawat berputar-putar di atas area pantai dan tambak di timur Surabaya.

Kadang pesawat miring sekali sampai-sampai jendela kecilnya hanya bisa melihat langit, tidak bisa melihat daratan. Yang tidak biasa sudah pasti mual. Namun, mereka yang sehari-hari hidup di dalam pesawat itu seolah ’’lupa daratan’’. Tak takut dengan posisi pesawat yang miring-miring mengerikan. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia