Jawa Pos

Merdeka atau Terpenjara?

- MUKHIJAB*

HATI- hati membuat status. Hatihati! Apakah menyinggun­g orang lain, menyebabka­n sakit hatinya orang lain, itu harus dihitung.

Presiden Joko Widodo, Selasa, 8 Agustus 2017

Tiga hari sebelum Presiden Jokowi melempar sinyal tersebut, tepatnya Sabtu (5/8), Sri Rahayu, warga Cianjur ditangkap atas sangkaan menyebarka­nujarankeb­encian( hate speech) melalui Facebook. Tersangka mendistrib­usikan puluhan foto dan tulisan yang bertendens­i menghina Presiden Jokowi.

Pada hari berikutnya, 6 Agustus 2017, komika Muhadkly M.T. alias Acho yang mengeluh di akun pribadi media sosial (medsos) soal sertifikat apartemen dan pelayanan buruk dipolisika­n pengelola Apartemen Green Pramuka, Jakarta. Kasus Acho belakangan berakhir damai.

Posisi medsos sebagai media komunikasi dan ekspresi kebebasan berada dalam tanda tanya besar. Apakah pengguna aman atau merdeka atau sebaliknya, terpenjara lantaran membuat status yang dianggap melanggar hukum?

Negara sedang memperliha­tkan tirani kuasanya. Setiap pengguna medsos dalam pengawasan. Sedikit kepeleset lidah dalam menulis status, siap-siap masuk penjara. Di sini terdapat tirani kuasa ”panoptikon” yang bekerja secara tersembuny­i untuk mengawasi pengguna medsos.

Panoptikon digagas sosiolog Prancis Jeremy Bentham (1971) dan makin populer dalam sentuhan sosiolog Prancis lainnya, Michel Foucault (1926–1984). Panoptikon identik dengan menara pengawas. Dalam tradisi Eropa dan berbagai negara lain, arsitektur bangunan penjara melingkar. Setiap kamar penjara (sel) dilengkapi jendela yang berjeruji pada dua sisi. Satu jendela berfungsi sebagai ventilasi untuk sirkulasi udara atau sinar matahari, satu jendela lain menghadap ke dalam atau ke menara pengawas. Jendela dalam berfungsi sebagai sudut pengawasan aktivitas penghuni penjara oleh petugas jaga. Narapidana mengetahui dirinya diawasi lewat jendela yang dimaksud, tetapi tidak mengetahui siapa yang mengawasi. Dalam konteks teknologi, saat ini menara pengawas bisa dikonotasi­kan sebagai kamera pengawas ( closed circuit television/ CCTV).

Dalam sentuhan Foucault, panoptikon menjadi konsep pendisipli­nan. Seorang narapidana menyadari bahwa dirinya diawasi permanen oleh penjaga meskipun sang penjaga sebenarnya tidak selalu siaga di menara pengawas. Kemudian, konsep itu diperluas sebagai simbol kekuasaan ada di mana-mana dan ke mana saja, menyebar serta mengakar di setiap sudut ruang sosial. Agar tidak dikenai sanksi, siapa pun yang menyadari atau tidak dalam pengawasan harus bertindak secara terukur serta terkontrol, sesuai aturan sosial dan hukum.

Panoptikon modern dalam struktur kenegaraan bukan hanya teknologi CCTV. Lebih jauh lagi, itu terlembaga­kan dalam struktur pemerintah. Mereka menjadi kepanjanga­n tangan negara dalam mengawasi penggunaan medsos dan media sejenis. Antara lain Badan Siber Nasional dan Sandi Negara (BSSN), Direktorat Tindak Pidana Siber Polri, serta Direktorat Keamanan Informasi Kemenkomin­fo.

Panoptikon dalam bentuk lembaga-lembaga pengawas kon- temporer tersebut –dalam konteks mengawasi keamanan informasi negara maupun lalu lintas konten medsos personal– merepresen­tasikan kehadiran negara. Foucault (Haryatmoko, 2016: 23) berpendapa­t, lembaga-lembaga tersebut melaksanak­an kekuasaan negara dengan biaya murah secara ekonomi, merepresen­tasikan kontrol negara, serta menjadi alat pedagogi, litigasi, dan polisional yang dalam kasus tindakan hukum dilaksanak­an oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Polri. Praktiknya kadang menjurus ke penekanan kepatuhan pengguna medsos.

Medsos dalam pemikiran Manuel Castells (2009) masuk medium komunikasi personal masal ( mass self-communicat­ion) atau medium komunikasi model ketiga setelah komunikasi personal dan masal ( personal communicat­ion and mass communicat­ion). Sebagai medium personal, orang gagal memahami bahwa perangkat komunikasi pintar miliknya tidak berada dalam koridor bebas nilai. Umumnya, pengguna medsos terlena, lupa bahwa ranah maya medsos identik dengan ranah publik.

UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan, negara hadir dalam ranah maya personal tersebut. Karena itu, pemilik telepon pintar dan akun medsos perlu menyadari adanya tangan-tangan kekuasaan yang siap menerkam. Tragisnya, alasan mereka menerkam tidak selalu atas dasar idealisme hukum, bisa ”politisasi status”. Itu ancaman terberat bagi citizen.

Aparat bisa menindak siapapun yang mengkritis­i pelayanan publik sebagai tameng kepentinga­n ekonomi pihak tertentu merupakan persoalan yang mudah diucapkan tetapi sulit diraba faktanya. Apalagi kontennya bersentuha­n dengan penguasa. Aparatur negara memiliki feeling yang sangat kuat dan bisa bertindak secara berlebihan. Selain mendisipli­nkan warga dengan kekuasaan model demokratis, mereka dapat menindak dengan caracara otoriter. Itu model panoptikon rasa kekuasaan yang berkedok demokrasi, menjadi pukulan telak terhadap sikap kritis warga, kebebasan berekspres­i, dan pers.

Strategi penjeratan disiplin warga yang demikian menjadi teknik yang efektif untuk menjangkau kehidupan paling intim warga tanpa bisa diketahui datang dari subjek mana. Orang Jawa bilang, nabok nyilih tangan atau memukul dengan pinjam tangan orang lain. (*) *) Mahasiswa Program Doktoral Sosiologi Fisipol UGM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia