Guru Bisa Lakukan Perundungan
Anti perundungan. Sekarang ini anak berbadan gendut sedikit
aja udah malu karena diejek teman-temannya. Kalau malu, dia jadi malas sekolah. Nah, hal itu bisa berakibat buruk terhadap masa depannya. Ditambah, guru kerap tidak menyadari bahwa mereka melakukan
bullying secara verbal. Misalnya, dengan berkata kasar dan membandingbandingkan anak itu dengan anak lain. Ika Siti Rukmana dan Uswatul Fitriyah, Komunitas Dulinan
Anti perundungan. Seiring pesatnya teknologi, anak-anak menjadi kurang respek terhadap orang lain. Mereka menjadi antipati dan mudah menindas orang lain tanpa sadar. Setelah bullying, yang kedua adalah kasus pelecehan seksual. Semakin hari, kasus yang ada semakin mengerikan. Dina Fitria Martasari dan Desti Candra Sari, Ruang Belajar Aqil
Internet sehat. Dari tiga hal itu, semua bisa berakar dari internet. Anak yang kecanduan internet biasanya mulai berbohong. Minta uang ke orang tua bilang beli buku, tapi dipakai ke warnet. Bullying juga sangat rawan terjadi di internet. Pelakunya orang asing yang mudah memperdayai anak-anak. Begitu pula kekerasan seksual. Lana Yudhistira, Friends
Kekerasan seksual pada anak. Yang sering menjadi korbannya perempuan. Pertama, tidak ada hukum yang mengatakan bahwa pria sebagai pelaku harus menikahi korban. Kedua, hal itu bisa menimbulkan stres dan trauma seumur hidup. Belum lagi tekanan dari lingkungan sekitar yang semakin merendahkan mental korban. Lilik Wahyuni dan Endang Widiastuti, KoPPI
Cegah pelecehan seksual. Kasus ini semakin memprihatinkan. Parahnya, kasus seperti itu kerap tidak ditangani tuntas. Proses menghukum pelaku terputus di tengah jalan. Selain itu, banyak korban yang tidak mau memberi kesaksian atau melapor kepada pihak berwajib. Alasannya malu karena bisa merusak nama keluarga. Hal-hal seperti itulah yang wajib diubah. Korban juga diberi bimbingan. Pindrawati dan Siti Hardianti, Sekar Mawar
SALAH satu kunci melindungi anak dari kekerasan seksual, perundungan, dan dampak buruk internet adalah kerja sama. Orang tua, guru, dan lingkungan harus bersama-sama membangun support system untuk memproteksi anak-anak. Tangkis memberikan bekal kepada orang tua, guru, dan anak-anak melalui road
show di beberapa sekolah. Selain itu, komunitas perempuan diajak terlibat melalui Tangkis Community Competition.
Pada Rabu (13/9), tim Tangkis melakukan sharing bareng perwakilan lima komunitas perempuan di Malang. Yakni, Komunitas Ruang Belajar Aqil dan Dulinan yang beranggota mahasiswa, Sekar Mawar dan Komunitas Perempuan Peduli Indonesia (KoPPI) yang berisi perempuan hebat di bidang politik, serta Friends yang merupakan kumpulan anggota grup choir gereja.
Bertempat di Madam Wang Secret Garden, mereka berbagi kisah tentang kasus yang terjadi pada anak. Tiga tema yang diusung Tangkis tahun ini memang saling berhubungan. Siti Hardianti, anggota komunitas Sekar Mawar, mengatakan bahwa di lingkungan sekitarnya
banyak sekali terjadi kasus yang disebabkan penyalahgunaan internet. Dia bercerita, ada anak berusia di bawah 17 tahun yang tiba-tiba menghilang sekitar delapan bulan. Keluarganya kehilangan jejak. Saat akhirnya pulang, anak itu ternyata sedang hamil oleh seorang pria yang baru dikenal melalui media sosial. ” Tapi, karena dia belum siap menjadi ibu, anaknya diadopsi keluarga saya,” cerita Siti. ”Sementara dia mencoba meneruskan masa depan dengan masuk pondok pesantren,” imbuhnya.
Cerita serupa disampaikan Lilik Wahyuni, anggota KoPPI. Menurut dia, beberapa orang tua justru senang ketika anaknya bisa bermain internet sendiri. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengintai. ”Ada orang tua yang menganggap internet itu sesuatu yang ’wah’. Padahal, mereka enggak tahu apa saja yang dilakukan anak,” kata Lilik.
Pengawasan dari orang tua mesti didukung oleh guru sebagai pengganti peran tua orang tua di sekolah. Namun, tidak semua guru paham peran tersebut. Komunitas Dulinan yang beranggota mahasiswa Pendidikan Islam Anak
Usia Dini (PIAUD) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menggarisbawahi hal itu.
Di beberapa pelosok Malang, guru TK kurang kredibel. Masih banyak guru itu yang tidak mengenyam pendidikan khusus mengajar. Akibatnya, mereka tidak tahu pakem dan dasar yang digunakan dalam mengajari anak. Katakata dan perlakukan kasar kerap dilontarkan. ”Mendidik anak asal-asalan. Padahal, mereka mengajar anak usia emas,” kata Ika Siti Rukmana, anggota komunitas tersebut.
Komunitas itu terus berkampanye menggalakkan tiga tema Tangkis dengan berbagai cara kreatif. Misalnya, KoPPI, Sekar Mawar, dan Friends yang melakukan pendekatan kepada orang tua melalui sosialisasi serta forum group discussion (FGD). ”Orang tua harus tahu dulu apa saja batasannya,” kata Lana Yudhistira, ketua Friends.
Sementara itu, Komunitas Dulinan dan Ruang Belajar Aqil menyasar anak-anak TK dan SD. Komunitas Dulinan mengajak anak-anak lupa pada gawai lewat permainan tradisional. ”Mereka akan tahu bahwa permainan tradisional itu lebih seru dan sehat,” kata Ika. (adn/c6/ayi)