Kota Terpadu, Solusi Kepadatan Ibu Kota
Jakarta Sudah Terlalu Sesak, Harus Dipecah
JAKARTA – Jakarta sudah tidak sehat untuk ditempati. Kepadatan kendaraan dan penduduk melebihi ambang batas. Agar tidak semakin parah, dibutuhkan kota mandiri di sekitar ibu kota. Tujuannya memecah kepadatan kota yang dahulu bernama Batavia tersebut.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menyatakan, inisiatif para developer properti untuk mengembangkan kota terpadu seharusnya didukung pemerintah. Sebab, hanya dengan hal itulah, kepadatan ibu kota atau kota-kota besar bisa dikendalikan. Hal itu juga bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.
”Itu yang biasa disebut redistribusi fungsi. Sangat bagus karena dengan adanya sub-sub kota baru, fungsi kota utama dapat menyebar,” jelas Yayat di Jakarta kemarin.
Namun, yang menjadi tantangan, lanjut Yayat, adalah ba gaimana pengembang harus mampu memberikan kualitas yang baik pada kota terpadu, mulai sisi kebutuhan dasar, transportasi, hingga lingkungan. ” Jika tidak ada kebutuhan dasar, misalnya sekolah unggulan atau rumah sakit, kota satelit yang dibangun akan sebatas menjadi tempat tinggal. Karena peng hu ninya tetap memilih pergi-pulang ke kota utama seperti Jakarta atau Surabaya,” tambah Yayat.
Kota terpadu juga diharapkan tidak tumbuh secara eksklusif, tetapi inklusif. Artinya, kawasan tersebut harus mampu mengakomodasi kelas menengah ke bawah yang notabene saat ini sangat membutuhkan hunian baru. ”Itulah yang saat ini belum terwujud. Yaitu, pembangunan hunian bagi menengah ke bawah, khususnya di kawasan baru seperti kota terpadu. Padahal, jika suatu kawasan dapat mewadahi kelas menengah ke bawah sekaligus membangun basic ekonomi yang baik di sana, dampaknya akan sangat bagus, termasuk penyerapan tenaga kerja,” tambah Yayat.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin sebelumnya menyebutkan bahwa dari kebutuhan rumah ( backlog) yang berjumlah 11,4 juta unit, sekitar 60 persennya merupakan kalangan menengah yang perlu dibantu pemerintah melalui skema subsidi KPR FLPP.
”Dari 11.4 juta unit backlog, 20 persen sifatnya komersial dan tidak memerlukan subsidi pemerintah, sedangkan 20 persen merupakan kalangan bawah yang sifatnya memerlukan bantuan sosial. Sementara 60 persen sisanya merupakan kalangan menengah yang memerlukan bantuan subsidi,” ujar Syarif.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Maryono menjelaskan, dari sisi perbankan, tahun 2017 merupakan momentum yang baik untuk pertumbuhan properti. ” Tahun ini adalah saat yang tepat untuk memangkas backlog rumah dan pengembang perlu lebih memberi perhatian pada kelas menengah ke bawah. Kredit properti pada Juli 2017 tumbuh sebesar 13,9 persen. Jumlah ini naik dibandingkan pada Juni 2017 yang hanya sebesar 12,1 persen,” ujar Maryono.( agf/c6/ang)