Obral Pil Koplo, 86 Orang Gendeng
Tiga Remaja Tewas Mau Dibawa ke RSJ, Malah Bunuh Diri
KENDARI – Peredaran pil koplo menggegerkan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Sepanjang tiga hari terakhir, puluhan anak dan remaja mendadak kehilangan kesadaran dan berperilaku seperti orang gendeng alias gila. Mereka harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Bahkan, tiga orang dilaporkan meninggal
Kendari Pos ( Jawa Pos Group) melaporkan, puluhan anak dan remaja itu mendadak berperilaku seperti orang gila sejak Selasa (12/9). Mereka mengamuk dan tak mengenali keluarga mereka.
Selasa malam lalu, banyak korban yang sudah dilarikan ke RSJ Kendari dan RS Bhayangkara. Malam itu juga seorang siswa sekolah dasar, Moldi Kuniawan, 11, meninggal di RS Bhayangkara.
Lalu, kemarin (14/9) dua korban lainnya dilaporkan meninggal. Reski Indra Hartawan, 22, ditemukan tak bernyawa di perairan Teluk Kendari dan Muliadi, 19, tewas di pinggir Kali Wanggu, Kota Kendari.
Raup, ayah Reski, menceritakan, anaknya meminum Somadril, Tramadol, dan PCC pada Rabu lalu (13/9). Obat itu adalah obat penenang dan penghilang nyeri yang disalahgunakan Reski dan saudaranya, Rafli.
Efek obat itu, Rabu sekitar pukul 22.30 Wita, Reski dan Rafli bertingkah aneh. Mereka terlihat berbicara sendiri. Mereka tak mengenali lagi keluarga mereka. ”Anak saya mengamuk,” kenang Raup.
Raup pun memutuskan untuk membawa dua anaknya itu ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kendari. Namun, dalam perjalanan, Reski melawan dan melarikan diri. Raup hanya berhasil membawa Rafli ke RSJ.
”Kami mencari Reski, tapi tidak ketemu. Rumah kami dekat dengan Teluk Kendari. Kami duga anak itu menceburkan diri ke laut. Makanya, saya langsung hubungi kantor SAR Kendari untuk mendapatkan bantuan,” paparnya.
Benar saja, kemarin pukul 06.30 Wita Reski ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. ”Rafli selamat, berhasil kami bawa ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan,” katanya.
Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) mengonfirmasi bahwa kasus gila masal itu terjadi akibat penyalahgunaan obat-obatan Somadril, Tramadol, dan PCC. Delapan orang yang menjadi pengedar obat-obatan tersebut berhasil ditangkap kemarin.
Mereka ditangkap di tiga tempat berbeda beserta barang bukti pada Rabu malam (13/9). Dua tersangka ditangkap tim Satresnarkoba Polres Kolaka dengan total barang bukti 1.449 butir Somadril. Seorang tersangka lagi ditangkap Polres Konawe dengan barang bukti 1 set Somadril.
Kemudian, tiga tersangka ditangkap jajaran Polres Kendari dengan barang bukti 2.631 butir Tramadol. Lalu, Polda Sultra menangkap dua pelaku lagi dengan barang bukti 1.112 butir Somadril.
”Pelaku memiliki latar belakang yang bemacam-macam. Mulai pengangguran, ibu rumah tangga, hingga apoteker,” jelas Direktur Ditresnarkoba Polda Sultra Kombespol Satria Adhi Permana.
Polisi bersama pihak berwenang lain harus melakukan tes laboratorium untuk memastikan bahwa penyebab puluhan remaja kehilangan kesadaran itu adalah Somadril dan Tramadol. Namun, dari pengakuan sejumlah korban, dua obat jenis relaksan dan penghilang nyeri itu adalah penyebabnya.
Satria meyakini jumlah pelaku masih mungkin bertambah. Sebab, polisi masih terus mengembangkan pengusutan. Para pelaku akan dijerat pasal 197 jo pasal 106 ayat 1 subpasal 196 jo pasal 98 ayat 2 dan 3 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Yaitu, menyimpan, memperjualbelikan, dan mengedarkan obat-obatan tanpa hak. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara.
Sampai kemarin, berdasar data terakhir yang dirilis Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sultra, korban mencapai 86 orang. Mereka dirawat di beberapa rumah sakit. Sebagian yang lain sudah dipulangkan karena kondisinya stabil.
Meski demikian, Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Sultra AKBP Bagus Hari meminta keluarga korban rutin memeriksakan kondisi korban ke dokter. Sebab, Somadril dan Tramadol menimbulkan efek kecanduan.
Dalam laporannya kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara Asrum Tombili menyatakan, efek pil koplo di Kendari begitu parah karena Somadril, Tamadrol, dan PCC diminum bersamaan dengan minuman keras oplosan. Pasien yang berusia 11–22 tahun mengalami gangguan kepribadian dan disorientasi. Sebagian datang ke rumah sakit dalam kondisi delirium (mengigau).
Karena skalanya begitu besar, Nila berharap BNN segera mengidentifikasi kandungan obat sekaligus menetapkan status zat itu dalam kelompok adiktif. ”Ini sudah mengancam jiwa generasi muda bangsa kita,” tegasnya. BNN Curiga Ada Motif Nonekonomi Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari menyebutkan, PCC, Somadril, dan Tramadol bukan jenis narkotik, tetapi bisa disalahgunakan untuk kepentingan seakan-akan narkotik. ”Efeknya menenangkan,” jelasnya kepada Jawa Pos kemarin di kantor BNN. PCC juga bukan narkotik flakka sebagaimana yang disebut banyak pihak. Kandungan flakka adalah alfa PVP, sedangkan PCC dan Somadril memiliki kandungan parasetamol, karisoprodol, dan kafein.
Yang membuat BNN heran, bandar menjual obat membahayakan itu dengan sangat murah, yakni Rp 25 ribu untuk 20 butir. Dengan harga semurah itu, anakanak pun mampu membelinya. Arman pun mencurigai adanya motif di luar mendapatkan keuntungan ekonomi. ”Harus diselidiki, sengaja ingin merusak anak bangsa atau bagaimana,” tegasnya.
Harus diungkap pula bagaimana obat-obatan tersebut beredar luas di pasaran. Bagaimana puluhan remaja kehilangan kesadaran pada waktu yang bersamaan di luar kewajaran. ”Dari mana sumber obat itu penting untuk mencocokkan motif yang sebenarnya,” ujarnya.
Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Badan POM Hendri Siswadi menuturkan, pil PCC tidak layak disebut obat. Badan POM tidak pernah mengeluarkan izin edar untuk pil tersebut.
”PCC itu produk ilegal dan bukan obat. Namanya obat, kan untuk menyembuhkan penyakit. Bukan sebaliknya,” tegas Hendri kepada Jawa Pos.
Dia mengaku sedang mempersiapkan diri untuk terbang ke Kendari. Sudah ada koordinasi dengan Mabes Polri dan BNN untuk meneliti lebih lanjut peredaran PCC di Kendari. ”Kami sebelumnya tidak tahu produk ilegal ini sampai membuat gaduh. Apa betul hanya itu?” ujarnya.
Hendri menuturkan, peredaran karisoprodol sudah dilarang. Sebab, bahan tersebut dulu dipakai untuk membuat carnophen yang ternyata disalahgunakan. Izin edar obat yang berfungsi mengatasi nyeri dan ketegangan otot itu telah dicabut. Obat tersebut bisa menimbulkan efek halusinasi seperti narkotik.
”Kami pernah menggerebek gudang carnophen di Banjarmasin. Didapati 11 juta butir senilai Rp 35 miliar,” ungkapnya. Penggerebekan itu dilakukan sepekan lalu di gudang di Jalan Teluk Tiram Darat, Kota Banjarmasin. (ade/and/ tau/idr/byu/jun/JPG/c5/ang)