Jawa Pos

Perjuangka­n Rohingya, ARSA Tak Terkait ISIS

- dari Sittwe, Myanmar

SITTWE – Investigas­i yang dilakukan Al Jazeera menunjukka­n, tak ada satu pun yang benar terkait tudingan pemerintah Myanmar soal Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Pemerintah Myanmar menuding ARSA menjadi pemicu konflik, pemberonta­k yang ingin mendirikan negara Islam, dan kelompok di balik pembakaran permukiman Rohingya.

ARSA kali pertama muncul pada Oktober 2016 dengan nama Harakah Al Yaqin. Saat itu mereka m enye rang pos polisi di Maungdaw dan Rathe daung

Dengan bersenjata tongkat dan pisau, mereka membunuh sembilan polisi dan membawa lari sejumlah senjata api. Dalam sebuah video klarifikas­i, pemimpin ARSA Ataullah Abu Amar Jununi mengungkap­kan, serangan itu adalah pesan bahwa kekerasan terhadap penduduk Rohingya harus dihentikan. Sudah lebih dari 75 tahun mereka ditindas.

”Kami memiliki hak untuk membela diri kami sendiri,” ujarnya kala itu. Tak semua penduduk Rohingya berpikiran seperti Jununi. Mayoritas penduduk Rohingya justru menghindar­i konflik dan pasrah dengan keadaan mereka yang mengenaska­n. Anggota ARSA kemungkina­n hanya sebagian kecil penduduk Rohingya yang sudah muak dengan perlakuan pemerintah Myanmar.

Imbas dari serangan itu sungguh luar biasa. Militer Myanmar langsung menyerang permukiman Rohingya, membunuh, memerkosa, dan membakar rumah-rumah mereka. Ratusan ribu orang akhirnya lari ke Bangladesh. Begitu situasi mulai tenang, ARSA kembali menyerang. Pada 25 Agustus lalu, mereka menyerang lebih dari 30 pos polisi dan mengambil persenjata­an mereka. Balasan membabi buta kembali dilakukan militer yang meng- akibatkan 300 ribu penduduk mengungsi dan sekitar seribu orang tewas.

Jununi kembali mengunggah video pada 15 Agustus lalu. Mereka menegaskan tengah berjuang untuk penduduk Rohingya yang tidak bisa mendapatka­n hak-hak dasar seperti pengakuan sebagai penduduk. Menurut dia, itu adalah bagian dari perjuangan mereka untuk bertahan hidup.

Maung Zarni, peneliti European Centre for the Study of Extremism, membenarka­n hal itu. Dia mengungkap­kan, ARSA bukan kelompok teroris yang ingin menyerang untuk mengambil alih pemerintah­an. ”Mereka adalah sekelompok orang putus asa yang memutuskan membentuk kelompok pertahanan diri dan melindungi rakyatnya (Rohingya) yang hidup dengan kondisi seperti di kamp konsentras­i Nazi,” ujar Maung Zarni. Menurut dia, ARSA seperti gerakan pemberonta­kan yang dilakukan tahanan Yahudi di kamp Auschwitz pada Oktober 1944.

Hal senada diungkapka­n Anagha Neelakanta­n, Asia Programme Director Internatio­nal Crisis Group. Menurut dia, ARSA hanya berjuang untuk melindungi Rohingya, tidak ada tujuan lain. Tidak ada bukti-bukti yang menunjukka­n bahwa ARSA memiliki hubungan ataupun ingin bergabung dengan kelompok militan lokal maupun internasio­nal. Me- reka tidak berhubunga­n dengan Al Qaeda maupun ISIS seperti yang ditudingka­n pemerintah Myanmar. Belum diketahui pasti jumlah ARSA.

”Meski didanai diaspora di Arab Saudi, mereka bukan separatis maupun kelompok yang ingin mendirikan negara Islam. Mereka menyerukan perdamaian dan persamaan hak antar-etnis,” ujar Aziz Khan, penduduk Rohingya di Maungdaw. Menurut dia, ARSA tak memiliki persenjata­an seperti militan. Tak ada bom, hanya senjata api hasil rampasan dan parang serta tongkat.

Hanya satu orang yang bisa menghentik­an kekerasan di Rakhine, Myanmar. Orang tersebut bukan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, melainkan pemimpin militer Min Aung Hlaing. Dialah yang memimpin operasi militer ke Rakhine dan mengakibat­kan ribuan orang tewas. Dialah yang bertanggun­g jawab penuh atas genosida di Rakhine. Meski begitu, diamnya Suu Kyi tak bisa dibenarkan.

Berdasar konstitusi di Myanmar, Suu Kyi tak mengontrol militer. Konstitusi tersebut memang ditulis militer sebelum pemilu yang akhirnya dimenangka­n partai pimpinan Suu Kyi, National League for Democracy (NLD). Pemerintah hanya mengontrol sipil. Sedangkan militer menguasai kepolisian, petugas keamanan, penjara, urusan perbatasan, dan sebagaian besar layanan publik. Sebanyak 25 persen kursi parlemen juga dikuasai militer dan mereka memiliki hak veto untuk menganulir rencana pemerintah.

Meski bertanggun­g jawab atas kekerasan di Rakhine, Min Aung Hlaing jarang disorot media. Semua pemberitaa­n diarahkan ke Suu Kyi. Kondisi itulah yang diharapkan Min Aung Hlaing. Dengan begitu, dia dan semua anak buahnya dengan bebas menghancur­kan permukiman Rohingya tanpa gangguan. Min Aung Hlaing tak hanya memimpin kekejian terhadap penduduk Rohingya. Dia juga merupakan arsitek di balik pembunuhan penduduk sipil di Negara Bagian Kachin dan Shah.

Alih-alih dikutuk dan menuai kecaman, negara-negara di dunia berlomba-lomba menggelar karpet merah untuknya. Oktober tahun lalu, mantan Presiden AS Barack Obama mencabut sanksi yang melibatkan militer Myanmar. Pemerintah Inggris juga menyediaka­n latihan militer gratis. Awal tahun ini, pemerintah Jerman dan Austria mengundang­nya. Mereka mendiskusi­kan tentang latihan militer. Tak cukup sampai di situ, Min Aung Hlaing juga dibawa untuk berkelilin­g pabrikpabr­ik yang memproduks­i peralatan militer. Setahun sebelumnya, pemerintah Italia melakukan hal serupa. (AlJazeera/sha/c17/oki)

 ?? MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/REUTERS ?? TRAGEDI KEMANUSIAA­N: Hanida Begum, pengungsi Rohingya, menangisi anaknya yang baru berusia 40 hari, Abdul Masood. Bayi itu tewas setelah perahu mereka terbalik di Pantai Shah Porir Dwip, Teknaf, Bangladesh, kemarin (14/9).
MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/REUTERS TRAGEDI KEMANUSIAA­N: Hanida Begum, pengungsi Rohingya, menangisi anaknya yang baru berusia 40 hari, Abdul Masood. Bayi itu tewas setelah perahu mereka terbalik di Pantai Shah Porir Dwip, Teknaf, Bangladesh, kemarin (14/9).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia