Intoleransi Ancam Kebinekaan
SURABAYA – Belakangan ini gejala intoleransi beragama yang disertai munculnya radikalisme serta fundamentalisme menguat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia
Penegakan hukum, kerja sama sosial, dan penanaman nilai toleransi merupakan jalan keluar untuk memecahkan persoalan itu.
Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan, kasus-kasus intoleransi beragama di Indonesia pada umumnya didominasi kekerasan dan penyerangan, penyebaran kebencian, pembatasan berpikir, penyesatan oleh kelompok yang diduga sesat yang berujung pembatasan aktivitas keagamaan, serta konflik tempat ibadah.
”Pelaku tindakan intoleransi beragama pada umumnya ormas keagamaan, kelompok masyarakat, dan individu. Yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat adalah elemen yang mengatasnamakan kelompok mahasiswa dan partai politik,” ujarnya dalam diskusi ilmiah dengan tema Memperkokoh Politik Kebhinekaan di kampus Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (13/9).
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama oleh kelompok tertentu jika terus dibiarkan akan menjadi ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia. ”Tidak diragukan lagi, radikalisme yang telah mewujud dalam tindakan kekerasan seperti bom bunuh diri, telah menyebarkan rasa takut dan ngeri di masyarakat,” katanya.
Pria yang akrab dipanggil Cak Imin itu menilai, intoleransi beragama bisa mengancam kebinekaan karena merupakan tindakan diskriminasi, pengabaian, larangan, atau pengutamaan yang didasarkan agama maupun kepercayaan. ”Akibat intoleransi ini berupa peniadaan atau pengurangan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia.”
Karena itu, upaya memperkukuh kebinekaan harus dilakukan dengan memperhatikan tiga aspek. Salah satunya, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan. Juga, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerja sama serta penanaman nilai-nilai toleransi. ”Penanaman nilai toleransi ini harus diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,” tegasnya.
Menurut Cak Imin, toleransi harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan atau setiap mata pelajaran agama dan budaya. Dengan begitu, sikap toleran tertanam kukuh dan menyatu dalam jiwa setiap siswa. ”Cara penafsiran dan pemahaman tunggal terhadap ajaran agama perlu dihindarkan sehingga siswa terbiasa berpikir terbuka dan menghargai perbedaan,” lanjutnya.
Dia menyebut kebinekaan sebagai sunnatullah atau hukum alam. Karena itu, menurut Cak Imin, pihak yang merusak kebinekaan atau melakukan aksi intoleransi harus disikapi tegas secara hukum. ”Merusak kebinekaan berarti melawan sunnatullah. Dan, melawan sunnatullah merupakan kezaliman,” tegas dia.
Negara tidak boleh lagi membiarkan tindakan-tindakan kekerasan dan main hakim sendiri oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu. ”Negara harus melindungi hak setiap warganya atau kelompok masyarakat untuk berekspresi, menyatakan pendapat, berkeyakinan, dan menjalankan profesinya,” kata dia.
Ormas-ormas keagamaan juga harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerja sama dalam berbagai bidang sosial serta kebudayaan. Dengan begitu, toleransi bisa ditumbuhkan secara menyeluruh. ”Semakin tinggi intensitas komunikasi dan kerja sama antarkelompok agama, semakin bisa dihindari kesalahpahaman dan dakwah-dakwah keagamaan yang menyebarkan sikap tidak toleran,” paparnya.
Sejarah agama dan aspek-aspek ajaran spiritualnya perlu dikenalkan secara mendalam sejak dini. Sebab, dua aspek itu bisa mendorong tumbuhnya jiwa sosial dan visi humanistis seorang pemeluk agama. ”Dengan sendirinya, ini akan membuat seseorang menjadi lebih terbuka, toleran, dan selalu berikhtiar untuk melakukan yang terbaik dan bermanfaat bagi kehidupan,” pungkasnya. (adv/c11/wir)