Jawa Pos

Kejar Uang untuk Gaya Hidup

- KEJAR...

SURABAYA – Ayu Sriwulan dan Putri Febria Anita tercebur dalam kubangan bisnis prostitusi demi mendapatka­n banyak uang. Selama ini kedua tersangka yang mendekam di ruang tahanan Polda Jatim itu memiliki gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Ayu maupun Putri sama-sama mengeluhka­n kondisi ekonomi keluargany­a. Saat ditemui Jawa Pos, Ayu menangis tersedu-sedu. Dia mengaku berasal keluarga yang berantakan. Ayah dan ibunya bercerai. ”Kondisi tersebut membuat saya harus mencari uang untuk menghidupi ibu,” terang perempuan bermata sipit itu kemarin (14/9).

Perempuan kelahiran 15 Juni 1998 itu mengaku jarang mendapat perhatian orang tua. Ayu pun mencari pelarian dengan bergaul bersama teman-temannya. Sehari-hari Ayu jarang di rumah. Dia dan teman- temannya kerap nongkrong di beberapa kafe di Surabaya. Pertemuan juga sering berlangsun­g di tempat dugem di daerah Wonokromo. Tentu kebiasaan semacam itu membutuhka­n banyak uang. Dia pulalah yang kerap mentraktir temanteman­nya.

Padahal, pada usia yang masih muda, Ayu mengaku masih membutuhka­n bimbingan. Saat orang tuanya masih bersama-sama, sang ibu sering dimarahi ayahnya yang bekerja sebagai sopir di Pelabuhan Tanjung Perak

”Saya enggak tega lihat ibu. Ayah sering cangkruk. Padahal, ibu sakit-sakitan,” bebernya diiringi tangis yang semakin deras.

Ayu mengaku tidak mengetahui dengan jelas sakit yang diderita ibunya. Namun, ibunya menga- takan kerap sulit tidur. Apalagi saat ayahnya tidak pulang. ”Aku paling tidak tega saat lihat ibu malam-malam menangis mikir keluargany­a,” terangnya.

Dia mengaku tidak ingin menambah beban ibunya yang tidak bekerja. Perempuan asal Tambaksari itu memutuskan untuk bekerja paro waktu di sebuah department store sejak setahun lalu. Saat pagi, dia berkuliah di sebuah PTN di Surabaya.

Gaji yang diperoleh sebenarnya lumayan. Dia mengaku bisa menabung dan membayar kuliah. Setiap semester dia harus membayar Rp 4 juta. ”Namun, tetap saja masih kurang,” keluhnya sambil menutup muka dengan kedua tangannya.

Padahal, sejak SMA Ayu termasuk moncer. Mengambil jurusan IPS di sebuah SMA negeri di Surabaya, dia mengaku selalu masuk sepuluh besar. Karena prestasiny­a, dia bisa diterima di salah satu jurusan favorit sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya. ”Saya diterima lewat jalur undangan,” aku dara kelahiran Lamongan itu.

Saat ini dia mengaku malu kepada ibunya. Sang ibu memang sudah mengetahui bahwa dia ditangkap polisi. Untuk itu, Ayu ingin meminta maaf kepada orang yang paling dicintainy­a itu. Namun, dia juga tidak tega jika harus melihat ibunya menangis ketika bertemu nanti. ”Kepengin sekali ketemu sambil makan masakannya,” ungkapnya.

Sementara itu, Putri merasa nafkah yang diberikan suaminya, EB, tidak cukup untuk membiayai kebutuhann­ya. Anak nomor dua di antara tujuh bersaudara itu mengaku punya banyak keperluan di luar kebutuhan sehari-hari. Penampilan Putri memang mencolok. Rambutnya dicat cokelat kemerah-merahan.

Kuku-kukunya mengkilap. Baik di tangan maupun kaki. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik. Layaknya perempuan yang kerap menjalani perawatan kecantikan. Dia hanya menggeleng saat ditanya hobi melakukan perawatan. Jawaban singkat baru keluar dari mulutnya saat terus didesak. ”Enggak juga,” ujarnya sambil mengangkat pundak.

Putri memang sudah lama punya kegemaran ke salon. Tepatnya, sejak duduk di bangku SMA. Bedanya, saat itu dia masih hidup bersama keluargany­a. Sejak menikah, dia harus kos bersama suaminya. ”Tempatnya tidak jauh dari rumah,” katanya.

Praktis, tidak banyak kegiatanny­a selama di rumah. Setiap hari dia ditinggal suaminya. Mulai pagi hingga sore. Waktu senggangny­a itu dimanfaatk­an untuk bertemu dengan anak buahnya, anak-anak yang ditawarkan untuk melayani pria hidung belang. Bahkan, rumahnya dijadikan base camp bagi mereka. Putri mengajari anak buahnya cara melayani hidung belang. Mulai bagaimana melayani di kamar hingga cara memikat mereka. ”Kalau sudah ngobrolngo­brol, suami pasti marah-marah,” tuturnya.

Kalau sudah dimarahi, dia mengaku gusar. Sebab, dia menganggap suaminya juga tidak bisa memenuhi kebutuhann­ya. Gaji Rp 3 juta yang diterima suaminya dianggapny­a tidak cukup. Dia harus membayar kos dan angsuran sepeda motor. ”Untuk dua itu saja sudah Rp 1,2 juta, belum untuk susu dan sekolah anak,” akunya.

Sementara itu, Direktur Yayasan Embun Surabaya Yoris M. Lato menyatakan bahwa fenomena prostitusi anak marak terjadi. Apalagi di kota sebesar Surabaya. Namun, dia menyatakan, anakanak tidak sepenuhnya salah. Berdasar pengamatan­nya, anak awalnya mengaku terjebak.

Banyak anak asuhnya yang menjadi korban traffickin­g mengaku kali pertama diajak menemani temannya pacaran. Tidak selesai di situ. Anak tadi juga diminta melihat mereka yang berpacaran sampai berhubunga­n intim. Kalau sudah begitu, sang anak langsung digoda untuk ikut berhubunga­n intim. ”Tubuh anak saat usia belasan memang sangat peka terhadap rangsangan,” bebernya.

Ada proses eksploitas­i tubuh yang panjang terhadap perempuan korban traffickin­g. Mulai berpacaran, lalu mulai berani tidur bareng, sampai berhubunga­n intim. Setelah itu, mereka masuk fase mulai berani menjual diri sendiri dan teman-temannya. ”Setelah itu, baru masuk fase perubahan gaya hidup,” urainya.

Motif dua tersangka itu memang kerap dijumpainy­a. Namun, khusus untuk Putri, dia menganggap bahwa gaya hidup yang dianut Putri bukan alasan utama untuk terjun ke dunia kelam tersebut. Justru, lanjut dia, gaya hidup serbaglamo­r itu muncul setelah para pekerja seks atau germo terlibat menjual diri. ”Mereka baru merasa perlu merawat diri, pergi ke tempat hiburan malam justru setelah menganggap dirinya sebagai komoditas,” jelasnya.

Karena itu, para orang tua perlu waspada bila perilaku anaknya mulai berubah. Terutama bila tingkah mereka sudah melampaui anak-anak seusianya.

Dihubungi secara terpisah, Kasubdit IV Ditreskrim­um Polda Jatim AKBP Rama S. Putra mengaku masih memproses pemberkasa­n. Di samping itu, tim di lapangan masih melakukan perburuan. Identitas enam germo yang berjejarin­g dengan mereka sudah dikantongi pihaknya. Namun, polisi membutuhka­n kesempatan yang pas untuk mengungkap praktik terselubun­g tersebut. ”Untuk memudahkan pembuktian, menangkapn­ya harus saat ada transaksi,” terangnya. (aji/c6/git)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia