Merugi, RPH Ajukan Rp 30 M
Untuk Revitalisasi Gedung dan IPAL
SURABAYA – Kondisi Rumah Potong Hewan (RPH) Surya sangat memprihatinkan. Gedung sudah tak layak pakai. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pun tidak sesuai standar. Kondisi tersebut membuat perusahaan daerah itu merugi dalam dua tahun terakhir.
Kepala RPH Surya Teguh Prihandoko menyatakan, sejak dirinya menjabat kepala PD RPH Surya, kondisi perusahaan sangat kompleks. Pada 2015, perusahaan merugi sekitar Rp 48 juta. Kemudian, pada 2016, perusahaan merugi Rp 220 juta. ’’Tahun ini, bisa BEP ( break-even point) saja sudah untung,” katanya.
Menurut dia, dibutuhkan kerja keras untuk mengembangkan RPH tersebut. Karena itu, dia mengajukan anggaran Rp 30 miliar untuk penanaman modal. Suntikan dana tersebut bertujuan merevitalisasi RPH. ’’Itu masih perkiraan kasar kami,” ujarnya.
Teguh melanjutkan, beberapa minggu lalu, Ketua DPRD Surabaya Armuji sempat mengunjungi RPH Pegirian. Kondisi bangunan memang tidak layak. Atapnya lapuk dan kandangnya rusak. Bahkan, IPAL yang dimiliki hanya bisa berproses di dalam RPH tersebut. ’’Masih jauh dari standar. Ada yang mulai berkarat, kami las,” ucap Teguh.
Kondisi serupa terjadi di RPH Kedurus. Karena itu, revitalisasi menjadi kebutuhan yang mendesak. Apalagi, bangunan RPH tersebut sudah berusia 90 tahun. ’’Sekarang, rumah daging tidak bisa berkembang,” tuturnya.
Selama ini, dia hanya berupaya memaksimalkan yang dimiliki RPH. Bahkan, saat Idul Adha, RPH Surya berhasil menjual seratus sapi tanda modal. ’’Kami buat kerja sama dengan peternak,” terangnya.
Teguh menuturkan, setelah revitalisasi dilakukan, pihaknya bisa menaikkan tarif untuk menambah dividen. Selama ini, tarif pemotongan hewan dipatok Rp 50 ribu per ekor. Itu pun sudah termasuk PPN. ’’Kami tak bisa menaikkan karena servis yang kami berikan juga tidak bisa lebih baik. Ini karena terbatasnya fasilitas,” jelasnya.
Bukan hanya itu, pengolahan kotoran sapi menjadi masalah. Dalam sehari, setidaknya ada 7 ton kotoran sapi yang dibuang, tapi tak bisa diolah. Sebab, tidak ada alat pengolahan limbah kotoran sapi. Padahal, lahan yang dimiliki RPH Pegirian berpotensi membuang 100 ton kotoran sapi. ’’Seharusnya bisa diolah menjadi biogas dan kompos. Tapi, lagilagi butuh alat,” katanya.
Anggota Komisi B DPRD Surabaya Ahmad Zakaria menyebutkan, revitalisasi untuk RPH memang dibutuhkan. Namun, penyertaan modal harus melewati mekanisme hukum. ’’Harus ada perdanya. Tanpa perda, nggak bisa dimasukkan anggaran itu,’’ ujar politikus PKS tersebut.
Aturan tentang RPH diatur dalam Perda 5/1988 sebagai perubahan atas Perda 11/1982. Lalu, pada 2009, ada pertambahan modal Rp 3,5 miliar yang diatur Perda 3/2009. Setelah itu, belum ada perda baru.
Zakaria lantas mencontohkan penyertaan modal di Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS). KBS mendapat penyertaan modal Rp 50 miliar. Tepatnya pada 2014– 2019. Masing-masing Rp 10 miliar per tahun. Jika KBS mengajukan anggaran itu pada PAK kali ini, komisi B memperbolehkannya. ’’Kalau kasusnya seperti KBS, ya bisa. Sebab, sudah ada perdanya,’’ lanjut anggota Banggar DPRD Surabaya tersebut. Senada dengan Zakaria, Ketua Komisi B Mazlan Mansur menilai perda RPH terlalu tua. (ayu/sal/c18/ano)