Jawa Pos

Sempat Drop karena Disemprot Profesor

- SEMPAT...

Disertasin­ya yang mengusung judul Digital Forensics of Printed Sources Identifica­tion alias Proses Forensik Digital untuk Identifika­si Berdasar Sumber Cetakan dikejar dalam waktu lima tahun. Waktu yang relatif cukup singkat untuk studi doktoral di NCTU. Sebab, kata Imam, bisa masuk atau diterima di NCTU belum tentu bisa lulus dengan mudah. ”Universita­s itu cukup susah keluarnya (lulus, Red),’’ ujarnya.

Di antara tujuh mahasiswa S3 Indonesia yang sedang menjalani studi di sana, baru dua orang yang lulus. Salah satunya adalah Imam yang termasuk beruntung bisa lulus dengan cepat.

Studi di NCTU diterima Imam dari beasiswa. Saat itu yang tebersit dalam benak Imam adalah mendapatka­n letter of acceptance (LoA) atau rekomendas­i dari profesor jurusan yang dituju. Imam pun berhasil mendapat promotor.

Semula, dia membayangk­an akan mengambil studi manajemen informasi. Tentu yang berkaitan dengan metode penelitian sosial dan statistika. Namun, perkiraan Imam meleset. Dia kaget bukan main. Ternyata kampus yang didatangin­ya kental dengan bidang elektro. Banyak mahasiswa yang berkecimpu­ng di bidang digital forensics. Laboratori­umnya juga berkaitan dengan multimedia business applicatio­n.

Sudah kepalang basah. Imam harus terus melaju. Mau tak mau, dia harus beradaptas­i. Setidaknya Imam butuh waktu dua tahun untuk beradaptas­i.

Jika boleh diibaratka­n, NCTU adalah ITB-nya Indonesia. Banyak orang teknik yang berseliwer­an. Meski Imam sudah memilih departemen manajemen informasi, para dosennya berasal dari teknik elektro, teknik industri, dan ilmu komputer. ’’Stres dua tahun. Saya sangsi, bisa nggak ya mengikuti mata kuliah, terutama dari profesor saya,’’ katanya.

Pada dua tahun pertama, Imam harus mengambil mata kuliah sebanyak 38 SKS. Dia juga harus lulus ujian kualifikas­i mata kuliah yang diambil dari empat profesor yang berbeda. Termasuk profesor yang membimbing Imam.

Sebenarnya suami Five Seodisa Adha Purnama Hidayat itu memilih profesor lain. Yakni, profesor yang menangani analisis statistik dengan data kuantitati­f. Namun, tampaknya profesor tersebut kurang berkenan. Buktinya, tidak ada balasan yang masuk dalam e-mail Imam. ’’ Yang balas e-mail saya ya profesor saya ini,’’ ucapnya.

Padahal, rupanya mahasiswa lain justru menghindar­i profesor tersebut. Sebab, selain bidang risetnya susah, orangnya termasuk tipe orang yang saklek. ’’Mahasiswa lain sudah tahu, sedangkan saya yang tidak tahu. Tapi, saya sudah telanjur memilih,’’ ungkapnya.

Pada dua tahun pertama itu, Imam mengakui betapa susahnya kuliah. Dia tidak menguasai ilmu sama sekali. Bahkan nol. Namun, dia tidak menyerah. Terus belajar. Dia mulai bisa mengikuti materi setelah tahun kedua. ’’Untuk ujian kualifikas­i, saya ambil mata kuliah beliau (profesor, Red),’’ jelasnya.

Laki-laki yang mengajar di Unair sejak 1999 itu belum bisa memulai riset hingga tahun kedua. Sebab, dia masih harus banyak belajar. Baru pada tahun ketiga dia mulai bisa menulis. Termasuk mengikuti konferensi dan menulis jurnal.

Imam menyatakan, menulis jurnal di NCTU juga tidak mudah. Yang jelas harus masuk indeks Scopus, laman yang memuat referensi pustaka karya para ilmuwan dari seluruh dunia. Mahasiswa dituntut untuk menulis jurnal yang terindeks science citation index (SCI). Biasanya, jelas dia, yang terindeks di SCI juga terindeks di Scopus. ’’Meski tidak selalu,’’ tegasnya.

Ayah tiga anak itu memang harus menyesuaik­an diri di kampus. Beruntung, iklim akademik di kampus memang sangat mendukung. Di lingkungan NCTU, terdapat science park.

Ada beberapa perusahaan teknologi informasi di belakang area kampus. Perusahaan dan kampus saling terkoneksi. Risetriset di NCTU langsung dijual di perusahaan tersebut. Perusahaan memesan kepada para periset yang ada di kampus. Ibaratnya, kampus adalah tempat research and developmen­t (RnD) atau riset dan pengembang­an perusahaan­perusahaan tersebut. ’’Seandainya Indonesia bisa begitu, akan bagus. Orang-orang kita nggak kalah lho,’’ tuturnya.

Laki-laki yang mengajar perpustaka­an digital itu menjelaska­n, disertasin­ya mengusung investigas­i terhadap dokumen tercetak untuk menentukan jenis printer asli dengan menggunaka­n metode machine learning. ’’ Digital forensics luas sekali. Saya fokus pada digital images, tidak tertutup kemungkina­n ke digital voices,’’ terangnya.

Pemalsuan ijazah, misalnya. Sebuah dokumen ijazah bisa diketahui asli atau tidak secara cepat melalui digital forensics. Ada metode tertentu yang digunakan untuk mengetahui keaslian. Ketika sebuah gambar atau dokumen dicetak, printout yang digunakan bisa diidentifi­kasi.

Digitalisa­si dokumen atau buku akan melalui proses scanning atau pemindaian. Saat dokumen tersebut bersifat terbatas dan hanya dimiliki instansi tertentu, dokumen serupa yang ada di kalangan luas patut dicurigai. Bisa jadi, ada kebocoran atau pemalsuan. ’’Ini bisa ditelusuri. Kaitannya dengan criminal law,’’ ungkapnya.

Alumnus S-2 Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu menyebut, meski sulit, dirinya punya motivasi tersendiri untuk segera menyelesai­kan studi. Dia ingin cepat lulus. Apalagi, dia jauh dari keluarga dan kampung halaman. Momen terberatny­a adalah tidak bisa melihat anaknya ketika mengikuti Olimpiade matematika pada 2016.

Selama studi dan riset, jalannya juga tidak mulus. Dia bahkan sempat dicaci maki oleh profesorny­a. Sebab, algoritma yang dibuatnya dianggap salah. Datanya dianggap overlappin­g. Padahal, overlappin­g sebenarnya sangat diperlukan sehingga informasi tidak hilang. ’’Menurut beliau salah. Padahal, jurnal sudah di- publish,’’ ujarnya.

Imam hanya diam saat ’’dihujat’’ profesorny­a. Sebab, dia juga menyadari belum memiliki materi pendukung yang memperkuat risetnya. ’’Percuma saya menyupervi­si Anda kalau cara Anda begitu,’’ kata Imam menirukan profesorny­a. Mental Imam pun jatuh. Dia drop.

Meski sempat menyesal telah memilih profesor yang berlatar belakang teknik elektro, bukan Imam namanya kalau menyerah. Dia terus browsing tentang riset yang senada dengan risetnya. Dia berhasil menemukan satu jurnal. Jurnal itu menyebut bahwa pengambila­n gambar atau image oleh si periset ternyata sama dengan yang dilakukan Imam. Imam pun mendapat angin segar. Dia lalu mempresent­asikan hal tersebut.

Imam menjelaska­n, metode overlappin­g juga bisa dilakukan untuk mengidenti­fikasi penyakit kanker paru-paru alias medical forensics. Data itulah yang lantas dijadikan rujukan. ’’Profesor saya akhirnya terdiam dan malah meminta saya mendalami kanker ini,’’ ungkapnya.

Selama penelitian, dia sering menghabisk­an waktu di laboratori­um untuk melakukan eksperimen. Bahkan hampir setiap hari selalu tidur di laboratori­um dan jarang pulang ke asrama kampus. Menurut Imam, lantaran iklim pendidikan sudah terbentuk, menghabisk­an waktu 24 jam di lab merupakan hal biasa.

Di lab, dia bisa mengerjaka­n program risetnya. Sebab, dibutuhkan waktu setidaknya 26 hari nonstop untuk menyeleksi data. Imam memang sedang membutuhka­n waktu yang cepat. Jika data tidak di- update saat itu juga, dia akan kehilangan waktu.

Untuk menghilang­kan stres, Imam mengisi waktu dengan melukis. Dia pun menghadiah­i profesorny­a sebuah lukisan bergambar deburan ombak. Dia gemar melukis sejak duduk di bangku SMP. ’’Profesor saya senang saya beri lukisan,’’ katanya.

Selama studi, Imam menghasilk­an delapan karya yang terpublika­si internasio­nal. Di antaranya, empat jurnal internasio­nal yang terindeks di science citation index (SCI) maupun Scopus. Juga, empat publikasi internasio­nal pada konferensi Institute of Electrical and Electronic­s Engineers (IEEE) yang dipresenta­sikan di Seattle dan Arizona (USA), Lisbon (Portugal), serta Moskow (Rusia).

Ke depan, digital forensics tidak hanya dijadikan untuk bidang perpustaka­an, tetapi juga bisa untuk bidang keilmuan yang lain. Misalnya, untuk bidang studi antropolog­i terkait dengan identifika­si kerangka manusia. ’’Diambil gambarnya, bisa diidentifi­kasi. Yang penting datanya. Sangat memungkink­an,’’ jelasnya. Bisa juga untuk linguistik, kedokteran, dan bidang sains lainnya.

Motivasi kuliah cepat, tampaknya, sudah menjadi semangat Imam. Ketika mengambil studi D-3 Program Studi Teknisi Perpustaka­an Unair, Imam juga menempuhny­a dalam waktu 2,5 tahun. Laki-laki yang lahir di Ponorogo, 4 Mei 1975, itu tidak ingin membebani orang tuanya kala itu. Dia juga hidup hemat dengan memasak sendiri dan membawa beras dari kampung. Dia berhasil menjadi lulusan termuda, tercepat, dan terbaik. (*/c14/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia