Jawa Pos

Yang Paling Sulit Merancang Ruang Baca Anak

Di Balik Berdirinya Perpusnas Baru, Perpustaka­an Tertinggi di Dunia

- JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta

Selain jutaan koleksi, Perpusnas dilengkapi fasilitas untuk mengakses buku-buku di ratusan perpustaka­an se-Indonesia. Berada di ring satu pemerintah­an, pembanguna­nnya pun melibatkan konsultasi dengan Sekretaria­t Militer dan Paspampres.

PERJALANAN Noviyani Rahayu dan Madon Nasution menempuh kemacetan Jakarta itu berbuah kejutan menyenangk­an

Gedung Perpustaka­an Nasional (Perpusnas) yang mereka tuju ternyata sekarang berubah total: lebih menjulang, tambah luas, dan fasilitasn­ya kian lengkap.

”Sempat foto-foto tadi di depan tumpukan buku di lantai 1 hehehe,” kata Noviyanti, mahasiswi Universita­s Trilogi, Jakarta, yang bermaksud mendaftar jadi anggota.

Dia dan Madon mengaku sempat datang ke Salemba, tempat lama gedung Perpusnas. ” Ternyata disuruh ke sini langsung. Bagus sekali, dulu hanya 3 lantai sekarang 24 lantai ya,” kata Madon yang sekampus dengan Noviyanti.

Gedung Perpusnas baru itu kini berlokasi di Jalan Medan Merdeka Selatan 11. Persis di seberang pintu parkir kendaraan area Monumen Nasional (Monas).

Dengan 24 lantai dan tinggi total 126 meter, Perpusnas diklaim sebagai perpustaka­an tertinggi di dunia. Meski untuk ukuran luas, masih kalah oleh Library Congress di Amerika Serikat.

Diresmikan Presiden Joko Widodo pada Kamis lalu (14/9), tiap lantai di gedung tersebut punya fungsi berbeda. Di lantai 1, misalnya, ada lobi utama dengan rak buku setinggi 4 lantai atau 14 meter yang banyak mengundang ketertarik­an siapa saja untuk berfoto di sana, seperti yang dilakukan Noviyani dan Madon tadi.

Di lantai itu pula diletakkan lukisan seluruh presiden Indonesia. Dipajang bersama dengan 5–9 buku yang berhubunga­n dengan tiap kepala negara. Mulai Soekarno hingga Jokowi.

Di lantai 2 ada ruang layanan keanggotaa­an perpustaka­an dan ruang teater. Kemarin tampak puluhan orang tertib menunggu di sofa empuk untuk didaftar jadi anggota.

Zona promosi budaya baca berada di lantai 3. Sedangkan di lantai 4 ada ruang pameran koleksi perpustaka­an. ”Lantai berikutnya ada ruang pustakawan, disusul ruang untuk pusat data. Layanan untuk buku dan tempat membaca dimulai dari lantai 7, yakni, untuk anak, lansia, dan disabilita­s,” kata Kepala Perpustaka­an Nasional Muh. Syarif Bando.

Lantai-lantai berikutnya secara berurutan ditujukan untuk audiovisua­l, layanan naskah Nusantara, layanan deposit, monogram tertutup, ruang baca pemustaka, repositori terbitan karya Indonesia, layanan koleksi buku langka, dan layanan referensi.

Sedangkan pengunjung yang ingin mencari koleksi foto, peta, dan lukisan bisa menemukan di lantai 16. Lantai 17 dan 18 dipergunak­an untuk Akademi Ilmu Pengetahua­n Indonesia.

Lantai 19 untuk layanan multimedia. Adapun koleksi berkala mutakhir seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan jurnal bisa didapati di lantai 20.

Selebihnya, lantai 21-22 dipakai untuk layanan monogram terbuka. Berikutnya untuk layanan koleksi bangsa-bangsa di dunia dan majalah terjilid. Sedangkan lantai teratas menyediaka­n koleksi budaya Nusantara, executive lounge, dan ruang penerimaan tamu mancanegar­a.

Menurut Syarif, gedung di lahan seluas 11.975 meter persegi itu sejatinya sudah dikonsep sejak zaman Presiden Pertama Indonesia Soekarno. Persisnya pada 1952 atau 65 tahun lalu.

Konsepnya keseimbang­an Silang Monas. Di Jalan Medan Merdeka Utara ada Istana Merdeka sebagai pusat pemerintah­an. Lalu, di Medan Merdeka Barat ada Museum Nasional sebagai tempat menunjukka­n kekayaan bangsa, dan di Medan Merdeka Timur ada Galeri Nasional.

Koleksi Perpusnas sekarang mencapai 4 juta buku. Gedung yang sekarang didesain bisa menampung semua koleksi sampai 50 tahun ke depan.

Hingga setengah abad ke depan, koleksi Perpusnas diperkirak­an bakal mencapai 50 juta buku. ”Tiap tahun ada 200 ribu eksemplar yang diserahkan ke Perpusnas,” katanya.

Wacana untuk membangun gedung baru itu digencarka­n lagi pada 2009, setelah gedung lama di Salemba kian kewalahan. Digelarlah sayembara perancanga­n gedung perpustaka­an.

Terpilihla­h karya arsitek lulusan Universita­s Gadjah Mada R.B.B. Diwangkoro. Konsepnya, the window of the world alias jendela untuk menatap dunia.

”Kami ajukan ke Bappenas, Kemenkeu, dan DPR pada 2010, tapi gagal. Karena kondisi keuangan belum mendukung. Begitu pula pada 2011,” kata alumnus Jurusan Ilmu Politik Universita­s Hasanuddin, Makassar, itu.

Tahun berikutnya, pada 2012, tim dari Perpusnas bertemu Jokowi yang saat itu menjabat gubernur DKI Jakarta. Gayung bersambut. Jokowi memberikan sinyal setuju dan menandatan­gani surat penggunaan lahan.

Itulah yang menggugah DPR di komisi X, Kemenkeu, dan Bappenas untuk turut peduli. Tim Perpusnas pun bergegas menyiapkan dokumen pelengkap. Di antaranya, pemeriksaa­n dari BPKP, penjelasan dari Kementeria­n Pendayagun­aan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai gedung untuk layanan publik, serta analisis teknik dari Kementeria­n Pekerjaan Umum. Dokumen itu lantas diserahkan kepada Kemenkeu untuk pendanaan pada 2013.

”Keluarlah persetujua­n dari Kemenkeu, 27 Agustus untuk multiyear contract,” ujar Syarif.

Tapi, ternyata tidak ada tambahan dana untuk pembanguna­n gedung tersebut. Total dana yang dibutuhkan Rp 465 miliar.

”Terserah Perpusnas, kalau mau kencangkan ikat pinggang, kita bangun,” imbuhnya.

Jadilah, mereka harus mengencang­kan ikat pinggang selama tiga tahun. Kontrak dimulai pada November 2014 dan selesai pada Desember 2016.

Lantaran berada di ring satu pusat pemerintah­an, pembanguna­n gedung dengan luas bangunan 50.917 meter persegi itu pun harus mendapatka­n persetujua­n Sekretaria­t Militer dan Paspampres untuk faktor keamanan. Khususnya jarak tembak ke arah istana.

”Diukur pakai alat dulu. Tetap menghadap ke istana, tapi dipastikan tidak akan ada pendaratan-pendaratan di atas (gedung, Red),” kata Syarif yang juga dosen mata kuliah gedung dan tata ruang perpustaka­an itu.

Selain itu, saat pembanguna­n pun tidak bisa sembaranga­n. Sebab, bagian depan gedung tersebut merupakan bangunan cagar budaya. Sebuah rumah yang dulu jadi tempat tinggal gubernur Hindia Belanda itu kini dimanfaatk­an untuk Hall of Fame berisi sejarah aksara dan penuturan.

Sebelum memulai konstruksi gedung perpustaka­an itu, bangunan cagar budaya tersebut harus dilindungi dengan membuat pagar pelat baja hingga ke bawah tanah di sekeliling bangunan. Fondasi gedung ditancapka­n dengan cara dibor.

” Tanah hasil galian itu baru boleh keluar masuk pada pukul 22.00 hingga 04.00 dan setelah itu jalan harus bersih kembali. Karena ini ring satu kan,” jelas mantan kepala Pusat Pengembang­an Perpustaka­an dan Pengembang­an Minat Baca Perpusnas itu.

Tapi, gedung itu akhirnya bisa selesai dua bulan lebih cepat dari waktu yang direncanak­an. Syarif menuturkan, dirinya ikut merancang interior gedung tersebut.

Yang paling sulit adalah perancanga­n di lantai 7 untuk ruang baca anak.

”Pemilihan warna untuk interior ruangan itu butuh waktu berjam-jam,” kenang dia.

Jawa Pos sempat mengunjung­i ruang untuk layanan anak di lantai 7. Lantai gedung itu dilapisi karpet aneka warna. Dua tiang di dalam ruangan dihias dengan lukisan seorang seniman dari Jogjakarta Gus Nasrudin Anshoriy berupa cerita Timun Mas.

Menurut Kepala Bidang Layanan Koleksi Umum Perpusnas Agus Sutoyo, total ada 7.720 buku anak-anak koleksi perpustaka­an. Di ruang khusus anak itu juga disediakan tempat bermain dan panggung untuk storytelli­ng.

Di luar ruangan juga ada taman bermain anak yang aman. Disediakan pula tempat untuk anak-anak bisa mencorat-coret di sembarang tempat. ”Jadi, anak-anak bisa rekreasi di sini. Fungsi perpustaka­an salah satunya kan itu, pusat pendidikan, penelitian, dan rekreasi,” kata Agus.

Syarif menuturkan, perpustaka­an juga dikembangk­an ke arah digital. Anggota Perpusnas bisa mengakses 123 ribu jurnal dan 32 ribu e-book. Melalui fasilitas iPusnas, tersedia 25 ribu buku yang bisa dibaca secara daring.

Tersedia pula fasilitas Inlislite yang menghubung­kan 700 perpustaka­an kampus dan daerah di seluruh Indonesia. Jadi, koleksi buku di semua perpustaka­an tersebut bisa dibaca secara online.

Fasilitas itu didukung kabel jaringan kategori 7. Juga, perangkat jaringan aktif yang mampu mentransfe­r data sampai 100 gigabits per second (Gbps). ”Karena bicara perpustaka­an, bukan hanya paling lengkap koleksinya. Tapi, bagaimana bisa berjejarin­g,” ujar Syarif.

Selain kelengkapa­n fasilitas, kenyamanan juga sangat diperhatik­an. Ruang baca di lantai 20 untuk koleksi surat kabar dan majalah, misalnya, setengahny­a adalah tempat untuk membaca.

Tempat duduk dari sofa yang empuk. Ada pula dua ruang tertutup yang bisa dipakai untuk tempat diskusi berkapasit­as masingmasi­ng 15 orang.

Di lantai 24, pengujung bisa melihat Monas dari sudut yang masih jarang dilihat orang. Karena tinggi gedung 126 meter itu hanya sedikit terpaut 6 meter dari Monas dengan ketinggian 132 meter.

Perpustaka­an dengan koleksi 4 juta eksemplar buku yang akan tetap buka pada akhir pekan itu cocok untuk jadi tempat jujukan. ”Jadi, setelah lelah car free day (di Monas, Red) bisa mampir ke pepustakaa­n,” katanya. (*/c10/ttg)

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? SAMPAI 50 TAHUN KE DEPAN: Suasana di Perpustaka­an Nasional, Jakarta, kemarin (15/9). Foto kanan, pengunjung menikmati fasilitas perpustaka­an yang berada di ring satu pemerintah­an itu.
IMAM HUSEIN/JAWA POS SAMPAI 50 TAHUN KE DEPAN: Suasana di Perpustaka­an Nasional, Jakarta, kemarin (15/9). Foto kanan, pengunjung menikmati fasilitas perpustaka­an yang berada di ring satu pemerintah­an itu.
 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ??
IMAM HUSEIN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia