Debora dan Kapitalisme Rumah Sakit
SALAH satu penyakit yang bisa timbul pada pelayanan rumah sakit (RS) adalah hilangnya rasa empati atau belas kasihan kepada pasien darurat gara-gara pertimbangan biaya. Akibat sistem bisnis jasa kesehatan yang kapitalistis, RS yang seharusnya merupakan wadah bagi para penolong nyawa manusia bisa menjadi kejam dan birokratis terhadap orang sakit (darurat).
Kisah pilu Debora Simanjorang, bayi 4 bulan yang meninggal akibat problem biaya dan administrasi, merupakan pertanda bahwa rasa empati dan kemanusiaan di korporasi RS kian terkikis oleh spirit kapitalisme. Artinya, alatalat pelayanan jasa kesehatan dikendalikan para pemilik modal dengan tujuan menggapai keuntungan sebesar-besarnya di sistem ekonomi pasar. Debora meninggal (3/9) karena problem biaya masuk PICU ( pediatric intensive care unit) di RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat. Padahal, sebelum Debora meninggal, dokter sudah menyarankan supaya si bayi dimasukkan ke PICU. Ironisnya, syarat biaya atau urusan administrasi ternyata bisa menjadi lebih penting daripada nyawa manusia.
Spirit kapitalisme itu juga bisa memotong semangat pasal 7 (a) kode etik kedokteran yang berbunyi: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Sang dokter mungkin sudah berpegang pada kode etik tersebut, tapi apa daya jika budaya bisnis RS lebih dominan ketimbang otoritas medis.
Publik tentu mengapresiasi peran pemodal dalam membangun banyak RS di negeri ini. Namun, spirit operasi RS tidak seharusnya sama dengan produsen barang. RS itu banyak bersentuhan dengan nyawa manusia. Para pemegang saham ( shareholders) RS tidak seharusnya menuntut pertumbuhan laba yang terlalu tinggi dalam bisnis jasa kesehatan yang sarat kepentingan umum.
Korporasi RS seharusnya bebas dari spirit ekonomi liberal yang seluruh proses operasionalnya link dengan pasar uang/saham. Sebab, pelaku pasar umumnya hanya ingin profit terbesar dalam waktu singkat (pola perdagangan saham short term) tanpa memikirkan beban pelayanan korporasi. Artinya, pemodal tentu tidak bisa merasakan beban dan tanggung jawab profesi medis di RS ketika melayani pasien sesuai etika profesinya.
Dalam situasi ini pemerintah se- bagai penjaga kepentingan publik seolah tidak sanggup mengarahkan korporasi RS untuk menyediakan pelayanan khusus bagi kaum ekonomi lemah. Korporasi RS tidak seharusnya dikapitalisasi pasar hingga kontrolnya bersifat target profit. Perspektif pemegang saham RS tentu berbeda dengan perspektif tenaga medis (terutama dokter) dalam menjalankan pelayanan kesehatan.
Tenaga medis tentu berpegang teguh pada kode etik berdasar sumpah profesinya, sedangkan para shareholder berprinsip profit yang sebesar-besarnya. Di sinilah bisa terjadi tarik-menarik antara otoritas medis dan manajemen korporasi yang sudah dipengaruhi shareholders. Orientasi shareholders itu pula yang bisa membuat saham korporasi RS anjlok jika terjadi peristiwa buruk tentang pelayanannya.
Itu bisa merugikan korporasi RS secara besar-besaran dan berkelanjutan. Bahkan, pelaku pasar bisa menjadi pembunuh yang keji bagi korporasi RS lewat pelepasan saham-saham yang dimiliki. Akibatnya, semakin banyak pasien atau calon pasien yang jadi korban. Orientasi shareholders itu bisa terbaca dalam laporan korporasi RS kepada shareholders yang hanya menampilkan aspek kinerja dan kondisi keuangannya. Laporan korporasi jarang menampilkan gerak seluruh tenaga medis dalam memenuhi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Rupanya, para shareholder tidak tertarik dengan laporan tentang prestasi para tenaga medis atau pendapat masyarakat tentang cara dan metode pelayanannya.
Artinya, para shareholder di pasar uang juga merupakan penguasa secara tidak langsung dari sebuah RS yang kapitalistis. Tuntutan merekalah yang juga bisa membuat terjadinya kecerobohan dalam pelayan medis akibat beratnya beban pelayanan di RS. Meskipun para dokter dan paramedis berkomitmen tinggi secara moral terhadap profesinya di RS, tuntutan kinerja yang berlebihan bisa berakibat fatal bagi pasien.
Untuk itulah, pemerintah dan masyarakat wajib mengawasi gerak RS demi keselamatan pasien dan calon pasien. RS sebagai usaha yang terkait dengan hajat hidup orang banyak wajib menekankan kekuatan empati ketimbang uang/ biaya. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus Debora, pemerintah dan korporasi RS perlu belajar dari budaya perusahaan Jepang di sektor kesehatan dan obat yang menjauhkan dirinya dari kapitalisme pasar. Tekanan pasar tak seharusnya berdampak ke RS.
Perusahaan yang melayani kesehatan masyarakat tidak seharusnya berurusan dengan tuntutan shareholders yang hanya berorientasi profit. Korporasi RS seharusnya bisa eksis dan berkembang (tanpa terpaut sistem mekanisme pasar) karena produk RS bakal terus dibutuhkan masyarakat.
Karena itu, pemerintah sebaiknya membuat regulasi yang membatasi RS terjun di pasar saham, baik swasta maupun milik pemerintah. Dengan demikian, budaya korporasi RS tidak sampai menghambat salah satu sumpah dokter Indonesia yang berbunyi, ”Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” (*) *) Dosen etika bisnis di FE Universitas Kristen Petra Surabaya