Kepala SMA Ragu Sikapi Survei
Kabag Kesra Pemkot Berdalih Sampling
SURABAYA – Surat survei siswa rentan putus sekolah di SMA/SMK yang dilayangkan pemkot pada beberapa SMA membuat banyak kepala sekolah resah. Mereka ragu-ragu mengisi kuesioner tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan dari Dinas Pendidikan (Dispendik) Provinsi Jawa Timur sebagai pengelola SMA/SMK.
Kondisi itu disampaikan Kepala SMAN 1 Johanes Mardijono. Surat survei yang mengatasnamakan pemkot itu diterima pada Selasa (12/9). Surat tersebut diberikan langsung oleh salah seorang petugas survei ke sekolah.
Dalam surat itu, sekolah diminta mengisi beberapa pertanyaan mengenai kondisi siswa di sekolah. Terutama siswa yang menyatakan keberatan dalam membayar SPP.
Mulai jumlah siswa yang menunggak dalam pembayaran SPP, berapa bulan rata-rata anak menunggak SPP, hingga pertanyaan seputar jumlah siswa yang mengajukan keringanan pembayaran SPP.
Setelah mencermati keseluruhan surat, Johanes menjadi ragu untuk mengisi kuesioner tersebut. Selain tidak memahami maksud dan tujuan dari survei, dia bingung lantaran surat itu datang bukan dari dispendik provinsi. Lembaga yang menjadi penanggungjawab kewenangan SMA. ”Surat juga tidak ada tembusannya yang mengetahui Dispendik Jatim ataupun Dispendik Cabang Surabaya selaku UPT,” ungkapnya.
Johanes menambahkan, surat pendataan siswa rentan putus sekolah dari pemkot itu sebenarnya bukan yang pertama. Pada Juli lalu, sekolah menerima surat serupa. Namun, modelnya bukan survei.
Sekolah hanya diminta mendata siswa yang rentan putus sekolah. Saat itu, Johanes memberikan data kepada pemkot. Dia menyetor 45 nama siswa di antara 790 total siswa SMAN 1. Puluhan siswa tersebut dipilih lantaran tercatat menerima keringanan pembayaran SPP.
”Saat itu saya menyetorkan nama. Karena dalam surat disebutkan adanya permohonan bantuan pendidikan bagi siswa SMA/SMK,” jelasnya.
Dilema pengisian kuesioner itu disampaikan Kepala SMAN 7 Achmad Djunaedi. Dia bingung apakah harus mengisi atau mengabaikan surat tersebut. ”Ini sedang kami koordinasikan dengan Dispendikcab Surabaya,” tuturnya.
Dia mengaku tidak paham soal maksud pengiriman hasil survei itu. Apakah akan ada bantuan atau sekadar survei. Saat ini, dia memastikan bahwa di SMAN 7 memang banyak siswa yang mengajukan keringanan. Seluruh pengajuan tersebut sudah disetujui sekolah.
”Upaya tersebut dilakukan agar tidak ada siswa putus sekolah,” tegasnya. Djunaedi menambahkan, untuk menyesuaikan keuangan keluarga siswa, di SMAN 7 ada yang membayar SPP hanya seribu rupiah per bulan.
Kabag Kesra Imam Siswandi membenarkan bahwa dirinya yang menandatangani surat itu. Tujuannya adalah evaluasi program pendidikan. Mengapa menyasar SMA/SMK yang kewenangannya sudah beralih ke provinsi? ”Kita tahu bahwa harus izin provinsi. Namun, ini hanya dua SMA. Cuma sekadar sampling,” jelas mantan kabag pemerintahan tersebut.
Pemkot memiliki program Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Siswa rawan putus sekolah bakal ditampung dalam program pendidikan nonformal. Namun, Imam membantah bahwa survei tersebut berhubungan dengan SKB. ” Ya enggak. Itu kan cuma beberapa sekolah,” ujar mantan Camat Kenjeran tersebut.
Anggota Dewan Pendidikan Jatim (DPJ) Isa Ansori menyambut baik langkah pemkot untuk melakukan survei siswa rentan putus sekolah di SMA/SMK. ”Di tengah polemik pengalihan wewenang tentu ini sebuah langkah baik,” katanya.
Isa berharap langkah pemkot dalam medata siswa itu tidak hanya berhenti pada memetakan kondisi warga Surabaya yang menempuh pendidikan SMA/SMK. Namun, berlanjut pada langkah nyata untuk memberikan bantuan kepada siswa secara ekonomi kurang mampu. ”Mungkin data siswa tersebut bisa dimasukkan ke rancangan ABPD pemkot 2018 agar bisa menjamin siswa kurang mampu tetap mendapat pendidikan,” harapnya. (elo/sal/c21/nda)