Jawa Pos

Slowdown di Perkara, Opname karena Efek Ahok

Lama tidak terdengar kabar, Trimoelja D. Soerjadi ternyata dirawat di Siloam Hospitals Surabaya. Pengacara legendaris tersebut sudah 15 hari terbaring akibat infeksi paru-paru. Sakit itulah yang kini telah membuatnya berubah.

-

WAJAH Trimoelja terlihat semringah kemarin (19/9). Jatah makan siang dari rumah sakit dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja. Padahal, jarum jam sudah menunjukka­n pukul 11.45. ’’Saya tidak mau makan di sini. Pokoke, aku mangan neng

(Pokoknya, aku makan di rumah, Red),’’ kata Trimoelja (baca: Trimulyo) kepada sang istri, Dyah Eko Rahaju.

Dia makin senang ketika perawat datang untuk melepas jarum infus yang melekat di tangan kirinya. ’’Proses administra­sinya enggak lama kan, Mbak?’’ tanya Trimoelja tidak sabar. Anggukan halus dan jawaban singkat membuat dia makin tampak bersemanga­t.

Perawat berusaha merayu agar Trimoelja mau makan siang, tetapi tetap ditolak. ’’Saya makan buah sama puding dulu. Makannya di rumah saja,’’ ucapnya.

Dyah memberi tahu, di rumah sudah ada menu kepiting telur dan udang yang siap santap. Trimoelja sangat bersemanga­t lantaran kemarin adalah hari terakhirny­a dirawat di Siloam Hospitals Surabaya. Dia sudah menjalani perawatan selama 15 hari akibat infeksi paru-paru.

Sakit itu membuat penampilan Trimoelja banyak berubah. Siapa pun yang melihatnya akan kaget. Tubuhnya sangat kurus

Tulang lengan tangan terlihat jelas. Pipinya tidak setebal dulu. Jauh berbeda dengan penampilan di publik selama ini yang masih segar meski usianya sudah menginjak 78 tahun.

Berat badannya turun drastis. Trimoelja menghitung, sejak sakit, beratnya turun 12–13 kilogram. ’’Lihat ini,’’ ujar Trimoelja sembari membuka selimut yang menutupi kedua kakinya saat ditemui di kamar 403 Siloam Hospitals Surabaya kemarin.

Tubuhnya memang tampak lemah. Namun, gaya bicaranya tidak berbeda saat dia masih sehat. Sangat bersemanga­t. Kedua tangannya pun masih banyak bergerak mengikuti alur bicara. Suaranya serak, tetapi masih sangat jelas terdengar.

Pengacara yang berkantor di Jalan Embong Sawo No 16 itu sangat senang dikunjungi siapa pun. Dia malah lebih banyak bercerita ketimbang orang yang mengunjung­inya. ’’Saya lama tidak ngomong. Sekalian latihan ngomong lagi,’’ jelasnya.

Memang, sejak masuk rumah sakit pada 4 September, dia puasa berbicara hingga sepuluh hari. Setelah keluar dari ruang ICU, dia baru berbicara lagi.

Sakit yang mendera Trimoelja diawali dengan tubuh yang menggigil. Dyah mengetahui suhu badan suaminya sangat panas setelah memegang tangan Trimoelja. Dari termometer, diketahui suhu tubuhnya mencapai 39,3 derajat Celsius. Dari tekanan darah, diketahui ada kejanggala­n serius. Trimoelja langsung dilarikan ke rumah sakit. Hasil pemeriksaa­n dokter menunjukka­n bahwa Trimoelja terkena infeksi paru- paru. Selama dirawat di rumah sakit, lulusan Fakultas Hukum Universita­s Airlangga tersebut lebih banyak tinggal di ruang ICU. Tubuhnya diberi tambahan oksigen. ’’Itu penyiksaan berat buat saya,’’ ungkapnya.

Penyebab sakit tersebut masih terkait dengan profesinya sebagai pengacara. Nama Trimoelja sangat kondang di dunia advokat tanah air. Sejumlah kasus pelik dan kontrovers­ial pernah ditanganin­ya. Salah satunya terkait dengan kematian aktivis buruh Marsinah pada 1993. Ada lagi kasus penembakan terhadap guru ngaji Riyadu Solihin di Sidoarjo yang dilakukan Briptu Eko Ristanto. Terakhir, dia menjadi ketua tim advokasi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengenai kasus penodaan agama. Kasus terakhir itulah yang membuatnya terkapar. Sejak November 2016 sampai Mei 2017, dia terlalu lelah dan kurang istirahat. ’’Sakit saya ini karena Ahok effect,’’ ucapnya, lantas tertawa.

Saat sidang berjalan, tenaganya banyak tercurah untuk menangani kasus tersebut. Penerima penghargaa­n Yap Thiam Hien itu menjelaska­n bahwa rapat untuk persiapan menghadapi sidang Ahok tidak singkat. Sering, rapat yang dimulai pada sore hari baru berakhir saat dini hari atau menjelang pagi. Padahal, paginya dia harus mengikuti sidang yang juga sangat panjang. Biasanya, sidang di pengadilan dimulai pukul 09.00 dan baru berakhir pada tengah malam. ’’Pernah sampai jam 23.45,’’ terangnya. Hal tersebut dilakukan berulangul­ang sampai sidang selesai.

Sebenarnya banyak anggota tim advokat pembela Ahok yang sudah mengingatk­an dan meminta Trimoelja istirahat. Terutama ketika jarum jam sudah menunjukka­n pergantian hari. Namun, dia selalu menolak saran tersebut. Dia tetap mengikuti rapat sampai selesai.

Saat awal sidang, Trimoelja sebenarnya sudah merasakan kejanggala­n di tubuhnya. Badan terasa tidak nyaman seperti biasa. Kualitas suara juga menurun. Suaranya tidak selantang biasanya. Karena itulah, ketika pembacaan keberatan, dia hanya membaca sebagian kecil. ’’ Tapi, saya abaikan,’’ katanya.

Dia sempat memeriksak­an diri ke spesialis telinga, hidung, dan tenggoroka­n ( THT) karena menganggap gangguan suara sebagai penyebabny­a. Tetapi, hasilnya tidak maksimal. Sebab, gangguan suara itu bukan karena ada kelainan di tenggoroka­n.

Makin hari, bobot tubuhnya kian turun. Namun, dia tetap tidak begitu menggubris­nya. Penurunan berat badan makin drastis ketika Trimoelja masuk ke rumah sakit. Dyah baru mengetahui suaminya kurang asupan. ’’Makan paling satu sendok dua sendok,’’ ungkapnya. Hal itu sempat membuat perawat di rumah sakit terheran-heran.

Ditanya alasan tidak mau istirahat dan tetap memaksa lembur meski usianya tidak lagi muda, wajah Trimoelja mendadak berubah serius. ’’Saya dididik disiplin. Ketika saya mendapatka­n tanggung jawab, itulah yang harus saya kerjakan. Saya sangat menjunjung profesi. Jangan sampai saya menelantar­kan klien meski saya tidak dibayar,’’ tegasnya.

Dengan suara serak, dia menegaskan bahwa disiplin, tepat waktu, dan mengerjaka­n yang benar adalah prinsipnya. Tanggung jawab, bagi Trimoelja, di atas segalagala­nya. ’’Apalagi, jika menyangkut pelanggara­n HAM, saya mem- pertaruhka­n nyawa saya. Dicabut seperti Munir, saya rela. Itu risiko pekerjaan,’’ tuturnya.

Trimoelja bahkan pernah memarahi istrinya gara-gara mengkhawat­irkan keselamata­nnya saat menangani kasus Marsinah. Saat itu banyak teror yang datang. Mobilnya dirusak orang tidak dikenal. ’’Saya bilang, kalau membela, mbok jangan nemen-nemen,” kata Dyah.

Bukan jawaban yang membuatnya tenang, Trimoelja malah mendudukka­n dan memarahiny­a. ’’Bapak bilang, kalau saya mati, bukan karena membela Marsinah. Tapi karena memang garisnya saya mati,’’ ucap Dyah menirukan ucapan sang suami. Kepada Dyah, Trimoelja justru menyatakan bahwa nyawanya sudah diletakkan di atas meja. ’’Katanya, ini kontraknya dengan Allah sudah begitu,’’ lanjutnya.

Momentum opname di rumah sakit itu menjadi penggalan sejarah hidup barunya. Setelah ini, Trimoelja memutuskan untuk slowdown dalam menangani perkara. Bukan pensiun dari pengacara. Hanya mengurangi intensitas dari yang selama ini dilakukan. Tidak menggebu lagi seperti dulu. Misalnya, untuk sidang, Trimoelja baru akan hadir jika memang sangat diperlukan. Sekaligus memberikan semangat kepada pengaca rapengacar­a muda.

Di depan istrinya, dia juga mengikrark­an diri untuk tertib makan. ’’Saya akan mengawasi langsung masalah makan biar bapak tidak terlalu kurus. Sekarang bapak sudah sadar. Tapi, sadarnya harus ditebus seperti ini,’’ tutur Dyah.

Memang, hikmah sakit begitu banyak. Semoga Trimoelja kembali waras seperti nama julukan nya ketika kecil: Waras! (*/ c14/ dos)

 ?? EKO PRIONO/ JAWA POS ?? omah
EKO PRIONO/ JAWA POS omah

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia