Antara ’’Film Politik’’ dan ’’Politik Film’’ di Indonesia
Buku ini berangkat dari premis dasar bahwa posisi film sesungguhnya berada dalam situasi tarik ulur dengan ideologi kebudayaan yang melatarinya.
FENOMENA pro dan kontra rencana pemutaran kembali film G30S/PKI pada bulan September sesungguhnya menegaskan kembali peran film dalam relasinya dengan politik, sejarah, dan aparatur negara.
Seperti terpapar dalam buku ini, di satu sisi, sinema diproduksi dalam suatu sistem yang dikontrol pihak tertentu. Dan, pada saat yang sama, film memuat cerita-cerita yang ditujukan untuk ’’mengontrol’’ persepsi penontonnya pada satu makna atau pesan tertentu.
Permasalahannya, tidak mudah memahami atau menyadari bagaimana ’’politik film’’ serta ’’film politik’’ tersebut dibentuk dan dioperasikan pada kesadaran penonton. Pada tahap inilah, buku yang mendapat penghargaan dari Yayasan Adikarya Ikapi dan Ford Foundation saat terbit pertama kali tahun 1999 ini bisa menjadi pintu masuk untuk memahami hal tersebut.
Politik Representasi Buku ini berangkat dari premis dasar bahwa posisi film sesungguhnya berada dalam situasi tarik ulur dengan ideologi kebudayaan yang melatarinya (hal 19). Karena itu, ia tidak pernah steril atau otonom dari politik kepentingan.
Tiga film yang menjadi objek kajian adalah Enam Djam di Djogja (1951), Janur Kuning (1979), dan Serangan Fajar (1981) dengan fokus pada relasi ’’sipil’’ dan ’’militer’’ di dalamnya. Pemilihan tiga film itu cukup menarik untuk bisa membandingkan dan mengetahui bagaimana militer direpresentasikan dalam film-film yang diproduksi pada Orde Lama dan Orde Baru.
Budi Irawanto menyajikan konteks sejarah kelindan antara militer, politik, dan film di Indonesia dalam tiga bab dari total lima bab buku ini.
Meski di tiga bab awal tampak deskriptif dan lebih mirip buku sejarah ketimbang buku kritik film, pada akhirnya Budi dengan jitu mengikat deskripsi itu sebagai konteks bagi analisisnya.
Pertama, perkembangan film di Indonesia terbukti tidak terlepas dari aspek politik demi menjalankan fungsi propaganda dan sensor dari pemerintah. Baik pada masa kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, maupun Orde Baru.
Kedua, film-film ’’sejarah’’ atau ’’perjuangan’’ yang muncul pada dua era awal kemerdekaan sesungguhnya menggambarkan kontestasi antara ’’militer’’ dan ’’sipil’’. Budi mengatakan, ’’ Dari sejumlah film yang bertutur tentang revolusi, terlihat bahwa hampir seluruh pusat pencitraan adalah militer. Kelompok sipil nyaris tidak pernah menjadi pemeran yang penting. Setelah masa Orde Baru, peran militer dalam film yang mengambil setting masa perang kemerdekaan semakin kuat.’’
Analisis terhadap tiga film yang terpapar pada bab selanjutnya menguatkan asumsi tersebut. Dalam Enam Djam di Djogja, misalnya, diplomasi yang dilakukan ’’sipil’’ dihadirkan sebagai ’’penanda’’ yang insignifikan jika dibandingkan dengan aksi ’’militer’’.
Budi mengutip dialog film tersebut, ’’Bahwa serangan umum ini akan mem-backing wakil-wakil kita yang tengah omong-omong di Lake Success.’’ Tindakan ’’omong-omong’’, ujar Budi, menunjukkan bahwa ’’diplomasi’’ dimaknai secara peyoratif dalam film ini.
Temuan menarik dalam buku ini, di antaranya, meski peran ’’sipil’’ dihadirkan jauh lebih kecil ketimbang kontribusi ’’militer’’, terdapat perbedaan mendasar antara film sejarah yang diproduksi pada Orde Lama dan Orde Baru.
Dalam Enam Djam di Djogja, film cenderung berbasis pada penghadiran tokoh-tokoh fiktif, perjuangan yang bersifat kolektif, dan menghindari penghadiran figur sentral. Sementara itu, dalam Janur Kuning dan Serangan Fajar, yang terjadi adalah penghadiran tokoh-tokoh riil pelaku sejarah.
Meski demikian, pembaca yang kritis barangkali masih bisa menguji klaimklaim penulis buku di atas. Pemahaman terhadap konsep ’’sipil’’ dan ’’militer’’, misalnya, secara implisit terkesan fixed hingga tampak esensial.
Film Naga Bonar, misalnya, menghadirkan tokoh sentral seorang ’’sipil’’ mantan pencopet ulung yang kemudian mengaku sebagai ’’jenderal’’ saat memimpin gerilya. Film yang naskahnya ditulis Asrul Sani dan diproduksi pada 1987 tersebut boleh jadi merupakan kritik dan parodi terhadap atribut-atribut militer yang dihadirkan secara jenaka, tepat pada masa ketika militer begitu hegemonik di Indonesia. (*)