Evaluasi Kebijakan Pertanahan
TANGGAL 24 September adalah tepat 57 tahun UUPA diundangkan. Sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945, salah satu tujuan UUPA adalah menjadi alat untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Permasalahannya, apakah kebijakan pertanahan selama ini sejalan dengan tujuan politik hukum agraria? Saya mengamati ada beberapa kebijakan yang tidak sejalan.
Pertama, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Salah satu pertimbangan lahirnya PP 103/2015 adalah untuk lebih memberikan kepastian hukum pemilikan rumah atau hunian bagi orang asing di Indonesia, maka PP 41/1996 perlu diganti. Artinya, PP 41/1996 dinilai kurang memberikan kepastian hukum.
Kalau kita cermati substansi PP 103/2015, pengertian orang asing yang berkedudukan di Indonesia itu diperluas, yakni orang yang bukan WNI yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, ”bekerja”, atau berinvestasi di Indonesia. Artinya, dengan adanya batasan semacam itu, orang asing yang ”bekerja” mencari penghasilan di Indonesia dimungkinkan memiliki rumah tinggal di Indonesia.
Hal itu berbeda dengan ketentuan PP 41/1996 dan peraturan pelaksananya, Peraturan Menteri Agraria (Permen Agraria)/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 yang mensyaratkan bahwa orang asing yang boleh memiliki rumah di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Artinya, orang asing tersebut tidak boleh dilihat semata-mata dari kepentingan orang asing yang bersangkutan, tetapi lebih dari itu kehadirannya di Indonesia ”harus memberikan manfaat atau kontribusi terhadap pembangunan nasional”. Hal tersebut dipertegas dalam pasal 1 ayat (2) Permen Agraria 7/1996 yang menyebutkan bahwa orang asing tersebut adalah yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia ”dengan melaksanakan investasi”.
Dari peraturan itu jelaslah, PP 41/1996 mensyaratkan ”hanya orang asing yang berinvestasi di Indonesia” yang boleh memiliki rumah untuk tempat tinggal. Dengan syarat tersebut, keberadaan orang asing itu jelas akan menguntungkan negara dalam penerimaan pajak dan dapat membuka lapangan kerja. Itu pun hanya satu buah rumah yang dapat dimiliki orang asing tersebut.
Hal itu berbeda dengan PP 103/2015 yang membuka kesempatan bagi orang asing untuk punya rumah tinggal di Indonesia. Bahkan, orang asing yang bekerja di Indonesia sudah dapat memiliki rumah tempat tinggal di Indonesia.
Selain itu, ketentuan yang saya lihat tidak tepat adalah rumah tinggal bagi orang asing tersebut berdiri di atas tanah hak pakai untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. Padahal, ketentuan umum tentang pemberian hak pakai bagi perorangan sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (1) PP 40/1996, hak pakai diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
Kedua, terbitnya kebijakan terkait pemberian hak guna bangunan (HGB) untuk pedagang kaki lima (PKL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2016 sebagai perubahan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 21/2015. Dalam peraturan tersebut dimungkinkan diterbitkannya HGB untuk PKL dengan luas bidang yang sangat kecil karena diberikan maksimal 100 meter persegi. Kalau kita lihat, kebijakan tersebut seakan-akan sangat populer. Akan tetapi, perlu diketahui, pemegang HGB itu memiliki kewajiban untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut.
Selain itu, jika jangka waktu HGB habis, ada kewajiban untuk melakukan perpanjangan dan pembaruan hak jika ingin tetap memperpanjang menguasai tanah tersebut dan tentunya diperlukan biaya untuk perpanjangan dan pembaruan. Jika tidak dilakukan pembangunan di atas tanah itu, berarti bertentangan dengan tujuan diberikannya HGB sehingga tidak dapat dilakukan perpanjangan atau pembaruan hak.
Karena itu, persyaratan untuk perpanjangan dan pembaruan hak harus menunjukkan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai bukti bahwa tanah tersebut telah dibangun. Jika tidak mendirikan dan mempunyai bangunan, secara yuridis tidak melakukan kewajiban diberikannya HGB. Selain itu, dalam peraturan tersebut dimungkinkan pemberian HGB untuk PKL maksimal lima tahun, khususnya untuk lokasi sementara. Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip pengaturan HGB.
Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pemberian hak milik untuk rumah sederhana dan rumah sangat sederhana (RS dan RSS) sebagaimana diatur dalam Permen Agraria 9/1997 yang selanjutnya diganti dengan kebijakan pemberian hak milik untuk rumah tinggal sebagaimana diatur dalam Permen Agraria 6/1998. Dalam peraturan tersebut HGB untuk rumah tinggal dapat diajukan permohonan untuk diubah menjadi hak milik. Pemberian HGB itu dirasa sangat memberatkan, khususnya bagi mereka yang tinggal di RS maupun RSS.
Selain itu, hal yang menurut saya tidak tepat dalam Peraturan Menteri ATR 2/2016 adalah adanya HGB di atas tanah kas desa. Padahal, HGB hanya dapat diterbitkan di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik orang lain dengan perjanjian (PP 40/1996).
Karena itu, pemerintah seharusnya segera mengevaluasi kebijakan pertanahan. (*)