Banyak Pelaku Justru Keluarga Sendiri
SURABAYA – Peliknya kasus tanah yang ditangani petugas sering disebabkan satu hal. Yakni, pelakunya adalah keluarga sendiri atau orang terdekat. Karena itu, mereka dengan mudah memanipulasi pemilik asli dan melakukan pemalsuan. Itulah salah satu kesimpulan satgas antimafia tanah.
’’Mafia biasanya juga memanfaatkan keluarga atau orang-orang terdekat untuk menguasai tanah,’’ kata Kasatgas Antimafia Tanah AKBP Yudhistira Midyahwan. ’’Memang, ada penguasaan tanah oleh orang yang sepenuhnya asing. Tapi, yang rumitrumit biasanya dari keluarga sendiri,’’ tambah perwira dengan dua melati di pundak tersebut
Dia mencontohkan kasus yang tengah didalami di Kediri. Yakni, kasus ibu-anak yang menggadaikan tanah untuk mendapatkan modal usaha ke seseorang yang mereka percaya. Memanfaatkan keawaman ibu-anak itu, orang tersebut menyodorkan akta jual beli, bukannya surat gadai.
Tanah itu pun berpindah tangan tanpa sepengetahuan ibu-anak tersebut. Selain itu, ibu-anak tersebut hanya mendapat Rp 70 juta dari tanah yang dijual seharga Rp 120 juta. Kasus itu menjadi viral sebelum diusut polisi. ’’Secara legal formal, memang sepintas terjadi jual beli. Tapi, pada prinsipnya kan tidak. Ibuanak tersebut ditipu,’’ katanya. Hal itulah yang membuat kasuskasus tanah begitu pelik.
Yang juga paling sering dihadapi adalah adanya sertifikat ganda. Biasanya itu terjadi ketika ada tanah yang disengketakan. Dua belah pihak sama-sama memiliki sertifikat yang sah di mata hukum.
Untuk kasus tersebut, tim melakukan perekaman jejak. Mereka melihat sejarah tanah tersebut. Nah, dari situlah, polisi mengetahui pemilik sah tanah tersebut. Sebab, tidak semua pemilik sertifikat merupakan pemilik tanah yang sah. ’’Data tersebut kami dapat dari BPN Jatim. Karena itu, kami selalu berkoordinasi,” jelas perwira dengan dua melati di pundak tersebut.
Modus yang paling umum adalah pemalsuan. Itu biasanya dilakukan oknum pemilik badan hukum tertentu. Mereka melakukan pemalsuan karena berbagai pertimbangan. Di antaranya, ketidaktahuan pemilik atas harga tanahnya.
Modus yang melibatkan orang terdekat juga tak kalah banyak. Mereka biasanya justru berasal dari keluarga sendiri. Kasus tersebut, antara lain, terkait dengan tanah yang melebihi batas, gugat-menggugat, dan penyerobotan batas.
Yudhistira juga menjelaskan kasus yang dilimpahkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Jatim. Kasus-kasus tersebut sudah diproses tim satgas. Penyidikan beberapa kasus malah sudah selesai. ’’Semuanya dalam proses penyidikan. Ada yang sudah dan sedang diproses,” ujar alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 2000 tersebut.
Dia menambahkan, kebanyakan kasus itu terjadi di Surabaya. Namun, ada juga yang berada di kawasan Jawa Timur lainnya. Misalnya, Malang dan Banyuwangi. ’’Tapi, yang paling banyak di Surabaya,” tambah Yudhistira.
Ada berbagai modus kasus yang dilimpahkan BPN. Di antaranya, pemalsuan. Bukan hanya dokumen yang dipalsukan oleh mafia. Tapi, juga surat dan keterangan. Hal yang tidak sinkron itu akhirnya menjadi masalah. ’’Ada juga penyerobotan tanah,” imbuh mantan penyidik KPK tersebut.
Ada pula yang melakukan penipuan dan penggelapan. Pelaku mengambil hak kepemilikan tanah seseorang. Hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan sang pemilik tanah yang sah.
Banyaknya kasus yang terjadi di Surabaya dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya, posisi Surabaya yang strategis. Hal itu membuat banyak orang yang ingin pindah ke Surabaya. Kebutuhan akan tempat tinggal pun semakin besar. Apalagi, harga tanah semakin meroket. Alhasil, banyak juga orang yang melakukan kecurangan.
Ada kasus tanah yang terjadi hingga belasan tahun. Akibatnya, tanah tidak bisa ditempati. Padahal, masih banyak yang membutuhkan tanah tersebut. Penyelesaian yang cepat pun dibutuhkan. Karena itulah, satgas antimafia tanah dibentuk. Mereka berfokus pada kasus tersebut. ’’Kami segera mengungkap kasus yang dilimpahkan BPN. Mohon beri kami waktu untuk melakukan penyidikan,” tegas polisi asli Surabaya tersebut. (bin/c7/ano)