Jawa Pos

Dispendik Jatim Genjot LSP P1

SMK Bimbang Tarik Biaya Tes

-

SURABAYA – Dinas Pendidikan (Dispendik) Jatim terus menggenjot jumlah lembaga sertifikas­i profesi pihak 1 (LSP P1) yang dimiliki SMK. Penambahan tersebut dilakukan agar seluruh siswa SMK dapat mengantong­i sertifikas­i profesi setelah menempuh pendidikan kejuruan.

Kepala Dispendik Jatim Saiful Rachman menyatakan, saat ini Jatim telah memiliki 315 LSP P1 yang tersebar di berbagai wilayah. Baik di SMK negeri maupun swasta. ”Saat ini, Jatim menjadi provinsi yang memiliki LSP P1 terbanyak secara nasional,” terangnya.

Dispendik Jatim memang menggenjot jumlah LSP P1 secara bertahap sejak 2016. Saat itu, jumlah LSP P1 mencapai angka 200 lembaga. Keputusan menambah LSP P1 dilakukan dispendik untuk memberikan bekal kepada siswa SMK setelah menyelesai­kan pendidikan.

Dengan mengikuti tes sertifikas­i kompetensi, siswa lulusan SMK tidak hanya mendapatka­n ijazah. Mereka juga memperoleh sertifikas­i keahlian yang bisa digunakan untuk mempermuda­h mendapatka­n pekerjaan.

Meski telah memiliki LSP P1 terbanyak, Saiful mengatakan, dispendik tetap terus mendorong SMK agar memiliki lembaga sertifikas­i secara mandiri. Salah satunya mengajak sekolah untuk mendaftark­an lembaganya ke Badan Nasional Sertifikas­i Profesi (BNSP).

Selain membuka LSP P1, dispendik menyiapkan skema sekolah rujukan berbasis jejaring. Sekolah yang telah memiliki LSP P1 diwajibkan merangkul SMK yang belum mampu menyelengg­arakan uji kompetensi secara mandiri. Melalui langkah tersebut, dispendik berharap ada percepatan siswa SMK untuk bisa mendapatka­n sertifikat kompetensi setelah lulus.

Skema percepatan LSP P1 tersebut dilakukan Jatim untuk mendukung langkah pemerintah pusat. Targetnya, setiap lulusan SMK pada 2018 memiliki sertifikas­i keahlian di bidang masing-masing.

Koordinato­r Fasilitato­r LSP P1 Jatim Titik Kusnenti menambahka­n, 90 persen siswa SMK di Jatim bisa mendapatka­n sertifikas­i kompetensi. Sementara itu, 10 persen siswa tidak bisa memperoleh sertifikas­i kompetensi karena masalah teknis.

Saat ini, belum semua jurusan SMK memiliki skema yang disahkan BNSP. Misalnya, jurusan pertanian dan teknologi. ”Tidak banyak SMK yang memiliki dua bidang kejuruan itu,” terangnya.

Selain masalah tersebut, hingga kini banyak kepala sekolah yang masih bimbang untuk mendirikan LSP P1. Terlebih, belum ada kewajiban dari pemerintah untuk membekali siswa sertifikas­i kompetensi.

Nenti menyebutka­n, banyak sekolah penyelengg­ara LSP P1 yang mengeluhka­n besarnya dana ujian yang harus dikeluarka­n siswa. Setiap tes, siswa paling tidak membayar sekitar Rp 250 ribu. Sementara itu, payung hukum untuk melakukan penarikan biaya uji kompetensi tersebut hingga kini belum ada.

”Kondisi itu membuat banyak sekolah enggan memaksa siswa mengikuti uji kompetensi,” tutur guru SMKN 8 Surabaya itu. Mereka takut sewaktu-waktu bisa diprotes orang tua murid terkait biaya ujian tersebut.

Nah, agar uji kompetensi bisa terselengg­ara, sekolah lebih memilih mencari sponsorshi­p ke berbagai instansi pemerintah. Hal itu dimaksudka­n agar siswa tetap bisa mengikuti uji kompetensi tanpa dipungut biaya. (elo/c6/nda)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia