Ribuan Anak Sekolah di Pengungsian
Erupsi 1963 Berlangsung Setahun
KLUNGKUNG – Hidup di pengungsian tidak lantas melunturkan semangat anakanak asal Kabupaten Karangasem, Bali. Setelah beberapa hari tidak masuk, kemarin (25/9) mereka mulai bersekolah lagi. Mereka belajar di sekolah-sekolah terdekat dengan lokasi pengungsian akibat aktivitas Gunung Agung yang terus meningkat
Di Kabupaten Klungkung saja, tidak kurang dari 1.915 pengungsi berstatus pelajar. Sejak kemarin mereka mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Masuk sekolah pagi, lalu kembali ke lokasi pengungsian siang hari.
Gede Wira Guna adalah salah seorang pelajar yang terus bersekolah meski sedang mengungsi. Remaja 13 tahun itu tampak antusias ketika aparat Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Klungkung mengantarkannya ke SMPN 3 Semarapura.
”Senang sekali karena tidak ketinggalan pelajaran lagi,” kata Wira ketika berbincang dengan Jawa Pos kemarin. Sebelum mengungsi, Wira bersekolah di SMPN 1 Selat. ”Teman di sini baik-baik, tiang senang,” ucapnya malu-malu.
Bagi anak seperti Wira, sekolah memang tidak boleh putus. Apalagi, ada kemungkinan erupsi Gunung Agung bisa sangat lama. Letusan terakhir pada 1963 berlangsung hampir setahun. Mulai Februari 1963 sampai Januari 1964.
Disdikpora Klungkung punya dua program untuk pengungsi berstatus pelajar di wilayah mereka, yakni sekolah terdekat dan sister brother. ”Mereka kami sekolahkan di sekolah terdekat,” ujar Kepala Disdikpora Klungkung Dewa Gede Darmawan. Dengan begitu, para siswa bisa berangkat dan pulang sekolah berjalan kaki dari lokasi pengungsian.
Menurut Darmawan, semangat anak-anak pengungsi untuk tetap belajar tampak dari data yang dia miliki. Minggu malam (24/9), berdasar data yang dia pegang, pengungsi berstatus pelajar tidak lebih dari 1.783 siswa. Namun, jumlah siswa yang masuk sekolah kemarin lebih tinggi. ” Ternyata di sekolah ada 1.915 siswa yang belajar,” ujarnya.
Mereka tersebar di 87 sekolah. Dengan perincian 63 SD, 13 SMP, serta 11 SMA dan SMK. Guna melengkapi program sekolah terdekat, program sister brother juga diterapkan. ”Hanya untuk SMA dan SMK,” kata Darmawan.
Maksud program sister brother adalah setiap pelajar SMA dan SMK yang sudah dipilih Disdikpora Klungkung harus menjemput satu siswa SMA atau SMK dari lokasi pengungsian. Sesuai visi Disdikpora Klungkung, dua program itu dijalankan dengan sukarela. Setiap pengungsi berstatus pelajar boleh bersekolah gratis. Baik di sekolah negeri maupun swasta. Mereka juga tidak dibebani tugas untuk dikerjakan di lokasi pengungsian. ”Sudah saya sampaikan, cukup belajar di sekolah saja,” ucap Darmawan.
Niat Disdikpora Klungkung menyalurkan pengungsi berstatus pelajar ke sekolah tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Tapi juga merupakan salah satu upaya agar mereka tidak merasa sedang mengungsi. ”Barangkali saat belajar mereka lupa. Tidak ingat bencana terus,” harap Darmawan. ”Jadi normal saja,” tambahnya.
Tidak ada perubahan jam belajar maupun pola kegiatan belajarmengajar. Semua tetap sama. ”Kedatangan mereka tidak mengubah sistem yang ada,” katanya. Darmawan mencontohkan jam belajar SD. Tetap mulai pukul 07.00 sampai 12.00 Wita. Begitu pula SMP dan SMA, tidak ada perubahan jam belajar. ”Tidak ada sistem pagi dan siang,” ucapnya.
Perubahan yang terasa hanya jumlah siswa dalam setiap rombongan belajar (rombel). ”Kami tambah sepuluh siswa setiap rombelnya,” ujar Darmawan. Itu berlaku sampai para pelajar yang mengungsi kembali ke Karangasem. Dia memastikan, rekap data dan nilai setiap siswa tersebut dicatat dengan rapi. Sehingga bisa mereka bawa ketika belajar lagi di sekolah asal.
Bukan hanya itu, program jangka panjang juga sudah disiapkan Disdikpora Klungkung. Menurut Darmawan, program tersebut penting lantaran tidak ada yang tahu sampai kapan para pelajar itu mengungsi. ”Bisa sampai ujian kenaikan kelas. Bisa juga sampai ujian nasional,” katanya. Karena itu, jauh-jauh hari pihaknya sudah bersiap diri berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Kemungkinan bertambahnya jumlah pelajar yang perlu disekolahkan turut menjadi atensi. Sejak pekan lalu sampai waktu yang belum ditentukan, Disdikpora Klungkung menyebar ratusan relawan untuk mendata siswa di lokasi pengungsian yang bersekolah di wilayah mereka. ”Kami evaluasi setiap hari,” imbuhnya. Tujuannya tidak lain, seluruh siswa terdata dengan baik.
Sejak status Gunung Agung naik, tidak kurang dari 36 sekolah yang berada di kawasan rawan bencana diliburkan sementara oleh Pemkab Karangasem. Selain berbahaya, pemkab melakukan itu lantaran para siswa harus mengungsi bersama keluarga masing-masing. Banyak di antara mereka yang memilih Klungkung sebagai lokasi pengungsian.
Berdasar data Disdikpora Klungkung, sejauh ini hanya pengungsi berstatus pelajar di wilayah mereka yang sudah kembali bersekolah. ” Yang lain masih didata,” ucap Darmawan. Di samping persiapan sudah dilakukan mulai pekan lalu, jumlah pengungsi turut berpengaruh. Pemerintah setempat tidak ingin anak-anak yang mengungsi di Klungkung terlalu lama libur.
Untuk itu, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta mendorong Disdikpora Klungkung bergerak cepat. ”Supaya anak-anak Gunung Agung tidak putus sekolah,” tuturnya.
Suwirta pun memastikan kebutuhan alat tulis, seragam, dan perlengkapan sekolah lainnya terpenuhi. ”Kami sudah buat tim yang menyalurkan bantuan seragam sekolah. Jangan sampai ada yang tidak dapat,” tambah dia.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengapresiasi masyarakat Bali dalam membantu penanganan pengungsi. Menurut dia, dalam kondisi seperti saat ini, masyarakat yang tidak terdampak adalah garda depan untuk membantu memberikan pertolongan bagi pengungsi.
”Mereka ada yang menyediakan tempat tinggal, dapur umum, hingga ada juga yang menyediakan lahan untuk hewan ternak.”
Sutopo menceritakan, ketika status gunung ditingkatkan menjadi awas pada Jumat malam (22/9), konsep sister village langsung diterapkan masyarakat. Ribuan warga mengungsi mandiri dan menempati titik-titik pengungsian. Menurut dia, adanya kebudayaan Menyama Braya di Bali sangat membantu. Kebudayaan tersebut mengajarkan kerukunan antarmasyarakat di Bali.
Untuk memudahkan mobilitas masyarakat, terang Sutopo, pemerintah sudah memasang spanduk yang berisi tanda mereka ada di zona mana. Dengan demikian, jika masih ada masyarakat yang berada di zona merah, diharapkan mereka bisa waspada atau segera mengungsi.
Selain itu, fasilitas pendukung telah dibangun di sekitar area pengungsian. Berbagai kementerian saling mendukung. ”Sudah ada fasilitas MCK, fasilitas kesehatan, dan hal lain yang diperlukan. Kami masih terus berusaha agar pengungsi tetap merasa nyaman,” ujarnya. (lyn/syn/c9/ang)