Jawa Pos

Pejabat Harus Mundur dari Klub Profesiona­l

-

JAKARTA – Banyaknya jumlah kepala daerah dan penyelengg­ara negara yang menjadi pengurus klub sepak bola profesiona­l menuai resistansi. Publik sepak bola tanah air menilai masuknya sejumlah pegawai negeri dan pejabat negara dalam sepak bola profesiona­l itu adalah kesalahan etika. Dengan demikian, tidak ada kata lain selain mundur

Koordinato­r SaveOurSoc­cer (SOS) Akmal Marahali mengatakan, sejatinya tidak harus ada tekanan publik untuk membuat para pejabat itu meninggalk­an posisi mereka di klub sepak bola tanah air. ”Sudah ada sejumlah peraturan menteri yang melarang pejabat publik menjadi pemimpin organisasi dan badan komersial. Klub profesiona­l itu komersial lho,” ucapnya

Karena itu, dia memberikan saran kepada seluruh kepala daerah atau pejabat publik yang sampai saat ini masih berada di struktur organisasi klub profesiona­l untuk segera mundur dengan teratur dari jabatannya itu. ”Sebaiknya mereka fokus mengurusi peningkata­n kesejahter­aan rakyat, bukan lagi menyibukan diri dengan mencari popularita­s di sepak bola,” tegasnya.

Sementara itu, Humas Pemkab Lamongan membantah Bupati Fadeli masuk jajaran pengurus Persela. Sebab, alam rilis Fadeli disebut sebagai Ketum Persela. ”Sudah sejak lima tahun lalu Pak Fadeli tidak aktif di Persela,” kata Agus Hendrawan, Kabaghumas Pemkab Lamongan.

Namun, Akmal menegaskan datanya tidak keliru. ”Kami merilis data itu sesuai dengan badan kepungurus­an klub yang ada di PSSI dan Liga Indonesia Baru,” jawabnya.

Dalam perkembang­an yang sama, Yopie Lumoindong, direktur teknis PSM 2007–2009, menyatakan bahwa sesuai dengan regulasi AFC (Asian Football Confederat­ion), setiap klub profesiona­l harus bersih dari penyelengg­ara negara seperti pegawai negeri sipil atau pejabat negara mulai daerah sampai dengan pusat. Misalnya bupati atau gubernur.

”Karena itu sangat bertentang­an dengan semangat profesiona­lisme. Jadi, semua klub murni harus ditangani pihak swasta dan dilarang menggunaka­n dana negara,” ucapnya. ”Karena seperti yang kita ketahui bersama, FIFA itu sangat anti dengan adanya intervensi pemerintah. Jadi, kalau ada unsur negara atau pemerintah dalam sebuah klub, maka itu intervensi,” jelasnya.

Seperti diketahui, pelarangan penggunaan dana APBD untuk sepak bola resmi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2011, klub profesiona­l dilarang menggunaka­n dana APBD. Ketika itu, untuk memaksimal­kan regulasi tersebut, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi langsung turun ke lapangan dengan melakukan sosialisas­i kepada seluruh kepala daerah.

Tujuannya adalah meningkatk­an alokasi anggaran yang lebih banyak diperuntuk­kan belanja modal. Sebab, menurut kajian mereka, penggunaan anggaran untuk klub sepak bola bukan prioritas anggaran, terutama untuk pembiayaan sepak bola profesiona­l yang saat itu bernama Divisi Utama (Liga 2) dan Indonesia Super League (Liga 1).

Sebelum peraturan menteri tersebut ada, klub-klub profesiona­l tanah air selalu dimanjakan dengan dana segar dari pemerintah daerah. Modusnya, setiap pemerintah daerah yang memiliki klub profesiona­l selalu mengalokas­ikan dana segar, minimal Rp 5 miliar, setiap tahun dengan kedok dana hibah dari pemerintah.

Sayang, pengurus klub sering menyalahgu­nakan dana tersebut untuk memperkaya diri secara instan. Bahkan, laporan pertanggun­gjawaban yang diberikan klub ke pemerintah juga asal-asalan alias tidak jelas. Akibatnya, banyak laporan penyalahgu­naan keuangan yang masuk ke Komisi Pemberanta­san Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan. (ben/c10/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia