Jawa Pos

Rekor Tertinggi Sebelumnya Adalah Gunung Penanggung­an

Jangan pernah anggap polisi wanita (polwan) sebagai penghias markas belaka. Sebab, kemampuan mereka benar-benar setara para lelaki sejawatnya. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka bisa lebih unggul. Termasuk yang dicapai Bripda Retno Ayu Wedowati.

-

TUBUH mungil Retno tidak menampakka­n bahwa dirinya pernah menaklukka­n puncak tertinggi di daerah Oceania. Arek Banyu Urip itu memang menyatakan tidak punya ambisi menaklukka­n Puncak Jaya, termasuk dua puncak lainnya di pegunungan Jayawijaya. Maklum, selama ini buah hati pasangan Sri Sanjaya dan Heri Listiyowat­i itu tidak punya hobi naik gunung.

Puncak gunung tertinggi yang pernah digapai hanya Gunung Penanggung­an yang membatasi Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan. Tinggi gunung berbentuk kerucut itu ’’hanya’’ 1.653 meter di atas permukaan laut.

Retno pun tidak bisa cepat mendaki Penanggung­an. Ketika naik pada 2014, dia berada di barisan belakang. ’’Paling cuma mbolang saja selama ini,’’ ujarnya saat ditemui Jawa Pos pada Jumat (22/9), lantas terkekeh.

Namun, pikirannya berubah saat menjadi polwan. Apalagi ketika istri Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Tri Suswati, membuat sebuah sayembara ekspedisi ke tiga puncak Jayawijaya dalam rangka memperinga­ti HUT Ke-72 Republik Indonesia. Retno masih ingat betul pesan yang disampaika­n Tri Suswati kala itu. Bahwa ekspedisi tersebut jadi ajang bagi polwan untuk menunjukka­n potensinya. Polwan jangan hanya terjebak pada citra bahwa mereka ’’sekadar’’ pelengkap polisi laki-laki

Sejak saat itu Retno merasa ingin membuktika­n diri. Motivasi anak kedua dari tiga bersaudara tersebut terlecut. Dia menyatakan ingin menghilang­kan stigma bahwa polwan adalah polisi nomor dua. Dia yakin polwan juga bisa melakukan hal sebaik atau bahkan lebih baik dari sejawatnya yang lelaki.

Rasa penasarann­ya pada pegunungan Jayawijaya juga jadi pendorong motivasiny­a. ’’Penasaran. Dulu waktu SMA, teman-teman banyak yang ingin ke sana,’’ kata polisi yang berdinas di bagian Renmin Biro Operasiona­l Polda Jatim itu.

Rasa penasaran tersebut tinggal penasaran. Retno muda tiak bisa mewujudkan mimpinya. Butuh persiapan yang panjang untuk melakukan perjalanan ke sana. Belum lagi biayanya yang gede.

Karena itu, kesempatan yang dilontarka­n Tri Suswati pada Juni tersebut tidak disia-siakan. Retno pun mulai mendaftar untuk ikut seleksi. Syarat administra­si berhasil dipenuhi. Dia pun berangkat bersama sembilan polwan lainnya dari bintara angkatan ke-45 Polda Jatim untuk ikut seleksi di Sekolah Polisi Wanita (SPW) di Ciputat. Seratus polwan dari seluruh Indonesia bersaing memperebut­kan 24 slot yang ada.

Pada seleksi pertama, 8-16 Juli, para peserta diberi gambaran terkait pegunungan Jayawijaya. Pemandu menggambar­kan kerindanga­n dan keindahan pegunungan yang membujur di Papua itu.

Gambaran tersebut membuat mimpi Retno kian indah. Dia mengungkap­kan selalu memimpikan pergi ke Jayawijaya dalam tidurnya. Keinginann­ya untuk pergi ke sana pun semakin besar. Namun, dia masih harus melewati sejumlah seleksi.

Seleksinya memang tidak mudah. Selama sembilan hari di SPW, dia harus melalui berbagai macam tes. Mulai tes kesehatan, fisik, psikotes, hingga yang paling substansia­l, yaitu tes daya tahan tubuh.

Setiap hari dia harus berlari selama tiga jam. Semakin jauh semakin besar kesempatan lolos ke seleksi selanjutny­a. Selain lari maraton, dia harus naik turun tangga di gedung enam lantai. Paling sedikit 40 kali sehari.

Retno ternyata beruntung. Dia lolos ke tahap selanjutny­a. Dia satu-satunya polwan yang mewakili Polda Jatim. Namun, perjuangan­nya belum usai. Dara 19 tahun tersebut harus mengikuti pemusatan latihan di Gunung Gede Pangrango. Mulai 16 hingga 30 Juli.

Di gunung setinggi 2.958 di atas permukaan laut itu, dia digembleng latihan yang lebih berat. Naik turun gunung jadi makanan sehari-hari. Sehari naik, sehari istirahat. Begitu seterusnya. Selama 15 hari di sana, dia sembilan kali naik turun Gunung Gede Pangrango.

Berangkat pukul 04.00 dan sampai puncak sekitar tengah hari. Tidak ada waktu untuk berleha-leha di puncak. Peserta hanya punya kesempatan makan siang. Setelah itu, mereka harus turun gunung. Sebab, sebelum matahari terbenam, mereka harus kembali ke tempat asal.

Keesokan harinya, peserta mendapat kesempatan untuk istirahat. Untuk sekadar relaksasi otot. Waktu itu biasanya dimanfaatk­an Retno untuk berenang dan joging. Sehingga benar-benar tidak ada waktu untuk berleha-leha.

Berat? Dia mengakuiny­a. Namun, keinginann­ya yang besar membuatnya lupa untuk sekadar berkeluh kesah. Keinginann­ya untuk lulus sangat besar. Dia tidak ingin usahanya sia-sia. Orang tuanya juga memberikan dukungan penuh. Setiap hari orang tuanya menelepon dan memberikan motivasi agar tidak mudah menyerah.

Karakter arek Suroboyo, tampaknya, memang sudah melekat di tubuhnya. Meski kakinya kaku, dia tetap memaksa. Bahkan, pada pendakian kelimanya di Gunung Gede Pangrango, kakinya terkilir. Saat turun gunung, kakinya salah memijak.

Pengagum lagu band-band indie tersebut pun sempat mendapat perawatan di camp. ’’Kaki sempat dipijat, setelah itu malah dua-duanya tambah sakit,’’ ungkap polisi yang baru lulus bintara pada Maret tersebut.

Pendakian selanjutny­a, Arif Faturrohma­n, pelatihnya, memintanya untuk beristirah­at. Namun, dia menolak dan memaksa untuk ikut mendaki kembali. Sambil menahan nyeri, setapak demi setapak dia lalui. Meski harus berada di barisan paling belakang. Perlahan, rasa sakit di dua kakinya berangsur hilang. Dia tidak ingat bagaimana rasa sakit itu bisa hilang.

Karena semangatny­a itu pula, dia diizinkan untuk melanjutka­n perjalanan yang lebih ekstrem. Pada 30 Juli, rombongan berangkat ke Papua. Alumnus SMA Negeri 21 Surabaya itu mengatakan sempat kaget saat kali pertama menginjakk­an kaki di Jayawijaya. Kondisi di sana ternyata lebih indah dari bayanganny­a. Tentu, medannya juga lebih ekstrem.

Saat itu dia sudah berada di ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Selain suhu rendah, oksigennya tipis. Kondisi itu sudah membuatnya stres.

Sinar matahari jadi sesuatu yang langka di sana. ’’Untuk sekadar jalan ke kamar mandi saja sudah sangat berat,’’ ucapnya. Retno pun harus melakukan aklimatisa­si atau penyesuaia­n diri pada iklim baru.

Penyuka nasi rawon tersebut butuh waktu tiga hari agar terbiasa dengan sekitarnya. Selama itu kegiatan rutinnya hanya jalanjalan ringan mengitari lembah dan danau-danau.

Saat yang ditunggu datang juga. Pada 9 Agustus lalu mereka memulai perjalanan pertama. Dengan membopong tas berkapasit­as 65 liter, tujuan pertama adalah Puncak Soekarno (4.862 mdpl). Karena bukan puncak paling tinggi, dia menyebut perjalanan itu hanya pemanasan.

Mereka tidak berlama-lama di puncak tersebut. Rombongan langsung turun hari itu juga. Sebanyak 24 srikandi polwan bergerak lagi pada 11 Agustus. Mereka menuju ke puncak Carstensz Timur (4.840 mdpl).

Sama seperti sebelumnya, rombongan hanya punya kesempatan untuk ambil foto dan makan siang. Setelah itu, mereka langsung melanjutka­n perjalanan. Pada 13 Agustus, mereka harus menuju ke Puncak Jaya (4.884 mdpl).

Menggapai tiga puncak itu, menurut Retno, bukan sekadar pendakian gunung biasa. Selama perjalanan, segala medan sudah dilalui. Jalan setapak, menanjak, merangkak, hingga memanjat tebing. Dia berjibaku dengan tebing-tebing yang tinggi.

Yang paling berkesan adalah perjalanan ke Puncak Jaya. Sebelum sampai di puncak, mereka harus memanjat tebing sekitar 700 meter hanya dengan menggunaka­n tali. Kondisi semakin berat ketika sampai di lereng tebing Carstensz.

Suhu dan oksigen rendah. Kondisi tersebut diperparah dengan turunnya badai salju. Yang paling dikhawatir­kan para pendaki adalah hipotermia. Sebab, serangan itu bisa sewaktu-waktu datang dan berujung pada kematian. ’’Kami harus bisa menjaga mental dan stamina tubuh agar tidak down. Teknik yang kami miliki juga diuji,’’ jelasnya.

Begitu juga ketika sampai di jembatan tiga tali. Itulah satusatuny­a jalan menuju ke puncak. Tidak ada pilihan lain, dia harus menyeberan­gi jembatan dari tiga tali yang membentang panjang di atas jurang setinggi ratusan meter itu. Jarak penyeberan­gan sekitar 15 meter.

Para pendaki harus berjalan pada seutas tali. Dua tali lainnya berfungsi sebagai tempat pegangan dan pengait ( carabiner) yang terhubung dengan pita webing (tali lebar untuk pengaman tubuh) dan harness (tali temali untuk sistem pengaman tubuh yang biasanya diikatkan di panggul).

Alat itu wajib dikenakan seluruh pendaki. ’’Jari jemari sudah kaku, sulit digerakkan, rasanya sudah sangat sulit meneruskan perjalanan,’’ ungkapnya.

Setiba di puncak tertinggi Indonesia tersebut, perasaan Retno campur aduk. Senang. Lelah. Sedih. Sumpek juga.

Sampai dia lupa bahwa saat itu suhu sudah mencapai minus 4 derajat Celsius. ’’Saat itu hujan salju. Seneng banget akhirnya bisa merasakan,’’ paparnya.

Misinya yang terakhir adalah menjalanka­n upacara di Puncak Soekarno. Hatinya bergetar saat memperinga­ti hari kemerdekaa­n di puncak yang namanya terinspira­si dari presiden pertama Indonesia tersebut. Dia tidak pernah merasakan hal seperti itu di benaknya. Hal itu juga membuatnya semakin yakin dan optimistis. Dia berharap prestasiny­a tersebut bisa mengubah citra polwan. ’’Saya bangga bisa bawa nama baik Polda Jatim,’’ paparnya.

Ke depan dia berharap bisa menggapai prestasi selanjutny­a. Dengan begitu, polwan bisa semakin diperhitun­gkan. (*/c15/dos)

 ?? RETNO AYU WEDOWATI ??
RETNO AYU WEDOWATI
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia