Kaji Ulang Regulasi Pemanfaatan Hutan
SURABAYA – Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) telah melayangkan surat kepada pemerintah pusat terkait dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Surat itu berisi bahwa regulasi tersebut ditinjau kembali.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jatim Dewi J. Putriatni menyatakan, hingga regulasi itu diterapkan, belum semua pihak terkait memahami. ’’Kalau ada kekurangan diperbaiki, baru kemudian dilaksanakan bersama-sama,’’ katanya kemarin (26/9).
Salah satu poin dalam regulasi tersebut adalah izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS). Izin itu bisa diajukan atau melalui penunjukan dari kementerian. Yang bisa mengajukan adalah kelompok masyarakat, gabungan kelompok tani hutan dan koperasi setempat, atau koperasi mitra BUMDes.
Regulasi tersebut menegaskan jangka waktu pemberian IPHPS selama 35 tahun. Izin bisa diperpanjang berdasar hasil evaluasi. Namun, aturan itu juga menyebut bahwa IPHPS bukan hak kepemilikan atas kawasan hutan.
Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Jatim Putut Adji Surjanto menjelaskan, ada beberapa skema perhutanan sosial. Selain IPHPS, ada pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Bentuk pengelolaannya mulai intensifikasi, optimalisasi lahan, hingga diversifikasi komoditas. ’’ Nah, ini tidak terlepas dari peran BUMN terkait, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten,’’ tutur Putut.
Dalam pengelolaan hutan, wilayah di luar Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 mengacu pada Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Wakil Kepala Perhutani Divisi Regional Jatim Lucy Mardiana menyebutkan, luas wilayah yang masuk dalam pengelolaan Perhutani mencapai 1,132 juta hektare. Area itu tersebar di Jatim, termasuk Pulau Madura. Luas yang dikelola Perhutani tersebut mencapai 24 persen dari total wilayah hutan yang ada.
’’Selama ini kami fokus pada skema PHBM,’’ ujarnya. Arah pengelolaan hutan, antara lain, untuk agroforestry yang menghasilkan jagung dan tebu, agroforestry terbatas seperti kopi dan cengkih, hingga hutan tanaman kayu. ’’Sepanjang 2012–2016, ada tren peningkatan sharing produksi. Yakni, dari Rp 5,5 miliar–Rp 10 miliar menjadi Rp 12 miliar–Rp 15 miliar,’’ jelasnya. (res/c14/sof)