Honda Serius Terjuni Bisnis Aviasi
Sasar Pebisnis dan Pejabat VIP
JAKARTA – Pesawat Honda HA-420 atau biasa disebut HondaJet untuk kali pertama menyambangi Indonesia. Pesawat seharga USD 4,9 juta atau Rp 65,5 miliar itu singgah di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Kehadiran buatan Honda Motor Company tersebut menandai keseriusan Honda untuk melebarkan sayap ke bisnis penerbangan.
Melalui anak usahanya, Honda Aircraft Company, Honda mengirimkan 54 HondaJet sejak Desember 2015. Director of Sales, Asia Pacific, Middle East, and Africa Honda Aircraft Company Vishal V. Hiremath menjelaskan bahwa mayoritas pembeli HondaJet berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Di Asia, target pembelinya berada di Singapura, Thailand, Malaysia, serta Laos.
Hingga saat ini, pasar Indonesia belum masuk radar HondaJet. Namun, ketika kondisi ekonomi semakin baik, Honda akan menggarap pasar Indonesia. Honda menyasar konsumen korporasi, pebisnis, dan pejabat pemerintah VIP sebagai target penjualan HondaJet.
Pesawat berkonfigurasi empat tempat duduk utama itu diklaim sebagai pesawat paling efisien serta kabin paling lapang di kelasnya. ”Dengan private jet, pebisnis atau VIP tidak perlu menunggu jadwal penerbangan seperti maskapai konvensional. Mesinnya juga irit, khas teknologi Honda,” kata Vishal.
Berdiri sejak 2006, Honda Aircraft Company yang berbasis di Greensboro, North Carolina, AS, menghabiskan waktu 20 tahun untuk meriset HondaJet hingga akhirnya resmi dijual pada 2015. HondaJet mampu terbang hingga ketinggian 43 ribu kaki dengan kecepatan maksimal 778 km/ jam dan daya jelajah 2.400 km.
Konfigurasi empat kursinya fleksibel serta dilengkapi toilet pribadi. ”Kami memiliki diferensiasi yang cukup jauh dengan kompetitor, bahkan bisa disebut stand alone. Kebutuhan light jet juga mulai banyak dilirik,” jelasnya.
Manuver Honda terjun ke bisnis penerbangan dinilai pengamat penerbangan Dudi Sudibyo sebagai langkah bisnis yang jeli. Soalnya, pasar bisnis penerbangan masih sangat luas. Selain itu, kebutuhan pribadi dan korporasi terhadap penerbangan tidak terjadwal seperti private jet akan terus meningkat.
Menurut Dudi, pembeli potensial yang disasar produsen light jet adalah eksekutif yang memiliki mobilitas tinggi untuk rute pendekmenengah, antarkota, maupun antarnegara. ”Dibanding menunggu jam-jam tertentu menggunakan maskapai konvensional, pengguna light jet lebih diuntungkan. Contohnya, di negara-negara maju, kepemilikan light jet bagi korporasi dan pebisnis bukan hal baru,” tambah Dudi.
Meski demikian, memiliki private jet menuntut biaya operasional yang tinggi. Alasannya, pengguna jet pribadi harus membayar beberapa biaya seperti biaya parkir pesawat di bandara, biaya perawatan, hingga biaya operasional penerbangan lainnya yang relatif besar. ”Namun, dengan perhitungan efisiensi dan hematnya waktu, tentu itu akan menjadi pertimbangan yang berbeda bagi konsumen VIP,” terangnya.
Di Indonesia, bisnis private jet mulai berkembang pada 1980-an. Ketika itu private jet dan helikopter menjadi kebutuhan saat demam minyak dan proyek-proyek migas lepas pantai berkembang. ”Ada peluang bagi perusahaan-perusahaan carter memakai pesawat jenis ini,” ucap Dudi. (agf/c24/c10/noe)