Jawa Pos

Usaha Turun-temurun, Pelanggan Menengah ke Atas

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa di Ponorogo ada sate kebuk. Yakni, sate yang dibuat dari jeroan sapi.

- LATIFUL HABIBI,

AROMA daging sapi tercium dari salah satu rumah di Jalan Jenar, Surodikram­an, Ponorogo. Padahal, kemarin siang (26/9) sang pemilik rumah yang biasa berdagang sate kebuk (jeroan) sedang libur.

Artinya, di rumah tersebut tidak ada aktivitas mengolah jeroan menjadi sate. Saat Jawa Pos Radar Ponorogo mengunjung­inya, suasana rumah tampak sepi. Hanya ada seorang lakilaki tua yang duduk santai di sofa ruang tamu. Dia adalah Sukiran, satu-satunya pedagang sate jeroan di Ponorogo.

’’Saya tidak jualan hari ini,’’ katanya saat mengira wartawan koran ini datang untuk memesan sate.

Memasuki rumah itu, ada rombong sate lengkap dengan pikulan. Rombong tersebut ditaruh begitu saja di pinggir ruang tamu. Selain itu, tak ada barang lain yang terlihat. ’’Kalau libur memang sepi. Karena tidak ada kerjaan, biasanya saya tidur,’’ ujar lelaki yang usianya lebih dari 70 tahun tersebut.

Sate kebuk, ungkap dia, adalah sate jeroan. Bisa hati, limpa, atau lainnya. ’’Lalu, diproses layaknya membuat sate lain,’’ terangnya saat menceritak­an seputar sate yang dijual.

Suami Katini itu menjelaska­n, dulu sate kebuk tersebut adalah usaha ayahnya yang berjualan sejak zaman penjajahan Belanda. Sukiran remaja kala itu juga sering ikut berjualan dengan membantu memikul rombong keliling desa.

Setelah ayahnya tua dan tidak sanggup lagi berjualan, baru usaha tersebut diteruskan olehnya. Sukiran mengaku mulai berjualan sate kebuk sejak remaja. ’’Kalau nggak salah 1964. Jualannya sama seperti bapak, wong tinggal melanjutka­n,’’ ungkapnya.

Kini Sukiran berjualan sate kebuk di Jalan Subali. Sejak dulu hingga sekarang, sate kebuk produksi bapak tiga anak itu sama. Yang membedakan hanya bahannya.

Dulu Sukiran menggunaka­n kebuk kerbau. Namun, semakin lama semakin sulit mendapatka­nnya. Lalu, sekitar 1972, Sukiran mulai menggunaka­n kebuk sapi. Sebab, kebetulan dari sisi bentuk dan rasanya tak jauh berbeda.

’’Lebih mudah mendapatka­nnya, tinggal beli di toko daging sapi pasti ada. Kalau kebuk kerbau mau mencari di mana,’’ jelasnya, lantas menyebutka­n bahwa dirinya merupakan satu-satunya pedagang sate kebuk di Ponorogo.

Pembuatan sate kebuk juga tak jauh beda dengan sate ayam atau lainnya. Sukiran menjelaska­n, langkah pertama adalah membersihk­an dengan cara mencuci kebuk yang digunakan sebagai bahan sate.

Setelah bersih, kebuk tersebut direbus atau biasa disebut dialupi. Setelah itu, kebuk diangkat dan dipotong sesuai dengan ukuran sate. Sebelum ditusuk, kebuk lebih dulu dibumbui. ’’Baru ditusuk. Setiap tusuk isinya tiga potong. Setelah itu siap dijual,’’ terangnya.

Selama ini pelanggan sate kebuk- nya bukan dari masyarakat biasa saja. Bahkan, lebih banyak dari kalangan menengah ke atas. Ada pengusaha dan pejabat.

Setiap hari Sukiran menyiapkan sedikitnya 200 tusuk sate. Jika lagi ramai, biasanya jumlahnya ditambah. Terutama ketika mendapatka­n pesanan.

Untuk harganya, satu porsi sate kebuk plus lontong dibanderol Rp 13 ribu. Selanjutny­a, sate kapur plus lontong Rp 11 ribu. ’’Baru saya naikkan harganya Lebaran lalu. Sebelumnya, harga sepuluh tusuk sate kebuk hanya Rp 6 ribu dan sate kapur Rp 5 ribu,’’ katanya.

Setiap hari Sukiran berjualan sate kebuk di Jalan Subali dengan rombong kuning yang sudah puluhan tahun. Dia mulai berjualan sekitar pukul 14.00 hingga habis. (*/irw/c22/diq)

 ?? LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR PONOROGO ?? SEDANG LIBUR: Sukiran setelah merapikan rombong satenya.
LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR PONOROGO SEDANG LIBUR: Sukiran setelah merapikan rombong satenya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia