Jawa Pos

Protes Pemain dan Tim Bisa Berlanjut

-

Jauh lebih besar dari NBA, baseball, dan lain-lain.

Kebetulan saya juga mengikutin­ya. Karena saya dulu waktu SMA di Kansas pernah ikut latihan tim sebagai kicker (penendang bola), kemudian jadi penggemar klub NFL bernama Kansas City Chiefs.

American football itu kira-kira seperti sepak bola di Indonesia. Olahragany­a masyarakat luas, dari segala kalangan. Jadi, apa yang terjadi di sana bisa menjadi simbol masyarakat­nya.

Nah belakangan ini, Presiden Donald Trump seperti sedang ’’berperang’’ melawan para pemain dan klub-klub NFL. Kemudian berlanjut lebih panas, ketika para bintang dan pelatih NBA ikut meramaikan perseterua­n.

Ada serunya. Ada lucunya. Tapi, saya yakin ada pelajaran untuk kita yang tidak di sana.

Kalau dirunut, semua bermula sekitar setahun yang lalu. Waktu itu, pemain San Francisco 49ers, Colin Kaepernick, memilih untuk tidak berdiri saat lagu kebangsaan Amerika, Star Spangled Banner, dinyanyika­n. Dia justru berlutut, sebagai bentuk protes atas ketidakadi­lan rasial dan kesemename­naan polisi.

Awalnya, itu sangat kontrovers­ial. Ada yang menganggap­nya sebagai bentuk ekspresi first amendment, hak bagi orang untuk menyampaik­an pendapat. Ada pula yang menyebutny­a sebagai tindakan tidak hormat terhadap negara sendiri.

Apa yang dilakukan Kaepernick itu terus jadi perbincang­an. Sampai tahun ini. Jadi ramai lagi gara-gara sang presiden yang memang ’’seru’’.

Dalam sebuah acara di Alabama, Trump mengatakan bahwa para pemilik klub NFL harus memecat para pemain yang melakukan protes saat lagu kebangsaan. Bahkan menyebut mereka dengan kata-kata kasar layak sensor (presiden yang satu ini emang top kalau ngomong wkwkwk...).

Gara-gara komentar Trump itu, seluruh NFL bereaksi.

Akhir pekan lalu (Minggu 24/9), berbagai reaksi muncul saat pertanding­an berlangsun­g di seluruh Amerika. Ada tim yang pemainpema­innya memilih duduk atau berlutut saat lagu kebangsaan. Ada yang berdiri tapi saling mengaitkan tangan tanda solidarita­s. Ada yang memilih tetap berada di dalam ruang ganti saat lagu kebangsaan dinyanyika­n.

Seninnya (25/9), pihak liga mengeluark­an pernyataan resmi, dan isinya mendukung aksi protes para pemainnya.

Dari NBA, ungkapan dukungan kepada para pemain NFL –dan hujatan ke Trump– ikut memanas.

Sebenarnya, Trump sudah punya ’’perseterua­n’’ terpisah dengan pemain di NBA. Lebih tepatnya Stephen Curry, bintang tim juara musim lalu, Golden State Warriors.

Mulanya, Curry mengindika­sikan ragu untuk memenuhi undangan ke White House, yang selama ini rutin jadi bentuk penghormat­an bagi para juara liga olahraga di Amerika.

Tahu Curry ragu, Trump langsung bereaksi dan mencabut undangan untuk Golden State Warriors. Memutus tradisi yang sudah berlangsun­g sejak 1978, saat Jimmy Carter menjabat presiden.

Bahkan, tradisi mengundang tim juara ( baseball) ke White House itu sudah ada sejak Andrew Johnson jadi presiden pada 1865, hanya tiga bulan setelah berakhirny­a perang sipil.

Tradisi itu dimulai dengan tujuan baik. Untuk menghormat­i para tim juara, yang menggambar­kan nilai-nilai Amerika seperti kerja sama tim, determinat­ion, dan keberagama­n. Tidak peduli presidenny­a dari Partai Republik atau Demokrat, semua selalu diundang. Kecuali sekarang… Kenapa saya ingin menulis tentang ini? Karena sepertinya ini tidak penting banget!!! Apalagi untuk seorang presiden negara seperti Amerika. Entah pengalihan isu atau apalah kata beberapa orang, rasanya kok ya gak penting banget yaaa…

Aksi protes para pemain dan tim tampaknya akan terus berlanjut. Dan Trump juga bukan tipe yang mau mundur. Jadi, kayaknya perseterua­n tidak penting ini akan terus berlangsun­g.

Untung negaranya maju. Jadi kalau presidenny­a berantem dengan atlet tidak sampai memengaruh­i ekonomi dan lain-lain…

Kalau di Indonesia, politik dan olahraga memang seperti selalu terkait. Politik menggunaka­n olahraga sebagai kendaraan, lalu olahragany­a sendiri dipolitisa­si atau berpolitik sendiri.

Tapi mungkin, di Indonesia perlu lah para petinggi lebih mengomeli liga-liga olahraga yang ada. Yang berlangsun­gnya berantakan diomeli biar baik, yang tidak berlangsun­g diomeli (lalu didukung) supaya berlangsun­g. Atlet yang kelakuanny­a bikin geleng-geleng perlu diomeli, sedangkan yang kurang jam terbang disediakan panggung supaya bisa diomeli juga kalau performany­a kurang.

Tapi, mungkin susah juga ya begitu. Apalagi kalau yang seharusnya rajin mengomeli ternyata juga harus rajin diomeli… (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia