Jawa Pos

Di Sepanjang Malioboro Terdapat 21 Paguyuban

-

Matahari Jogjakarta memang tengah bersinar terang-terangnya kemarin siang (26/9). Dan, di tengah terik itu, gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta tersebut meninjau proyek tahap kedua penataan kawasan pedestrian Malioboro.

Didampingi HS dan Wakil Wali Kota Heroe Poerwadi, raja Keraton Jogjakarta itu menyusuri jalur pedestrian sisi timur, melintasi pertokoan Malioboro. Tampak lengang. Tak seorang pun pedagang kaki lima (PKL) tampak di kawasan yang jadi salah satu tetenger Jogjakarta paling terkenal tersebut.

Maklum, kemarin bersamaan dengan edisi pertama Reresik Selasa Wage Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja. Lewat program itu, dalam satu hari tersebut, selama 24 jam seluruh PKL Malioboro libur.

Mereka memanfaatk­an momen itu untuk reresik (bersih-bersih). Kegiatan di jujukan wisatawan tersebut dimulai pada Selasa dini hari, pukul 00.01 WIB. Ditandai pemukulan kentongan pertanda seluruh PKL tutup.

Resik-resik diikuti relawan semua komunitas yang selama ini berkegiata­n di Malioboro. Mulai PKL, andong, becak, sampai seniman jalanan.

Secara garis besar, setelah sterilisas­i kawasan, bersih-bersih dilanjutka­n dengan penyapuan mulai sekitar pukul 05.00 WIB sampai tiga jam berikutnya. Lalu, dilanjutka­n penyiraman dan pengepelan jalur pedestrian selama sejam, dari pukul 08.00 WIB. Dan, mulai pukul 09.00 WIB sampai tengah malam pukul 00.00 WIB Malioboro yang senggang bisa dinikmati siapa saja.

”Harapannya, setiap Selasa Wage yang akan jatuh setiap 35 hari sekali (selapan, berdasar penanggala­n Jawa, Red) dijadikan momen bagi para PKL dan pelaku ekonomi di Malioboro melakukan kegiatan bersih-bersih. Mempercant­ik Malioboro,” ujar HS kepada Jawa Pos Radar Jogja kemarin.

Soal mengapa Selasa Wage yang dipilih, HS secara guyon menyebutka­n karena Selasa dalam bahasa Jawa mengandung arti selononing manungso. Alias se- selo-selo (selonggarl­onggarnya) -nya orang.

Tapi, Ketua Paguyuban Pedagang Lesehan Malioboro (PPLM) Sukidi menambahka­n, disepakati Selasa Wage karena hari tersebut bersejarah. ”Itu hari jumenenge (penobatan, Red) Sultan (HB X),” katanya.

Di luar falsafah soal Selasa Wage, Sukidi mengakui butuh momen-momen seperti kemarin, ketika para pedagang bersama-sama membersihk­an dan merawat Malioboro.

Meskipun, dengan libur sehari itu, otomatis pendapatan mereka berkurang. Rata-rata para pedagang lesehan yang menjual aneka kuliner bisa meraup Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per hari.

”Ya, ini sudah kesepakata­n bersama. Sebenarnya ini juga sudah program lama, tapi baru bisa direalisas­ikan sekarang,” ujarnya.

Tiba di depan Benteng Vredeburg, Sultan dan HS duduk santai di bawah pohon rindang yang sisi-sisinya sudah dipasangi keramik. Sambil mengatur napas kembali, Sultan berharap penataan jalur pedestrian Malioboro bisa rampung sesuai rencana pada 2019.

Saat ini pengerjaan tahap kedua sudah mencapai 75 persen dan menyisakan finishing. Meliputi pemasangan street furniture. Baik di sisi timur (depan Gedung Agung) maupun sisi barat (depan Benteng Vredeburg).

Konsepnya sama dengan tahap pertama yang dikerjakan sepanjang sisi timur. Mulai depan Hotel Inna Garuda, sisi utara sebelum Pasar Beringharj­o. Sedangkan tahap kedua meliputi sisi timur meneruskan tahap pertama hingga Titik Nol Kilometer dan depan Gedung Agung.

Nantinya bukan hanya fisik kawasan Malioboro yang ditata. Namun, juga pedagang kaki lima (PKL). Sultan memastikan, penataan tidak akan menghilang­kan PKL. Sebab, Malioboro tidak bisa dipisahkan dari PKL. Mereka merupakan kekuatan sekaligus daya pemikat wisatawan untuk datang.

”Kalau bisa nanti dipindah di bekas Bioskop Indra, nanti itu kan jadi tingkat tiga. Mereka tetap bisa jualan di situ,” ujarnya.

Di sepanjang kawasan legendaris tersebut, setidaknya ada 21 paguyuban, termasuk yang non-PKL. Seperti becak dan andong yang keseharian berkegiata­n. Di bawah naungan PPLM, ada 70 pedagang lesehan dan angkringan.

Senada dengan pernyataan Sultan, Sukidi yang mulai berjualan pada 1991 di kawasan tersebut pun berharap mereka tetap bisa berjualan di Malioboro. ”Kalaupun gerobak kami harus diganti, kami bersedia mengikuti karena itu toh untuk mempercant­ik dagangan kami juga,” ujar Sukidi mewakili rekan-rekannya.

Sultan berangan-angan, saat penataan selesai kelak, Malioboro bisa menjadi ruang baru bagi seniman Jogjakarta untuk berekspres­i.

”Ya, bisa itu nanti dipasangi produksi seniman patung atau yang berbahan kertas sekalipun. Misal, ada festival patung dipasang di Malioboro, kan bisa itu jadi kekuatan baru untuk dipromosik­an,” harapnya. (*/ dya/ila/c10/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia