Pengadaan Senjata Berat Izin Menhan
JAKARTA – Pasca pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal senjata ilegal, muncul video yang menyebar melalui media sosial. Dalam video itu tampak sekelompok orang sedang berlatih menggunakan rocket propelled grenade (RPG). RPG tersebut ditembakkan ke sebuah bukit yang jaraknya beberapa ratus meter.
Belum diketahui RPG jenis apa yang digunakan sekelompok orang berseragam cokelat tersebut. Biasanya, senjata berat itu digunakan untuk menyerang kendaraan lapis baja, bungker, dan gedung.
Saat dimintai konfirmasi, Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto mengaku belum mengetahuinya. ”Saya cek dulu, mana minta videonya,” ujarnya di kantor divisi humas kompleks Mabes Polri kemarin. Setelah melihat video tersebut, Setyo mengaku belum yakin apakah yang di dalam video itu merupakan Brimob. ”Belum yakin, nanti ya,” ujar jenderal berbintang dua tersebut.
Sementara itu, Kemenhan memastikan RPG yang digunakan institusi mana pun di luar militer tidak dibeli melalui Kemenhan. ’’Sesuai UU 3/2002, pengadaan oleh Kemenhan hanya untuk militer,’’ terang Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Laksamana Muda TNI Leonardi kemarin (26/9).
Kalaupun instansi lain hendak membeli senjata standar militer, misalnya Polri atau BIN, pengadaannya dilakukan sendiri. Meski demikian, tetap harus ada izin dari menteri pertahanan. Ke- tentuan itu sudah diatur dalam Permenhan 7/2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senpi Standar Militer di Luar Lingkungan Kemenhan dan TNI.
Dalam permenhan itu juga diperinci berbagai instansi yang boleh membeli senjata standar militer. Yakni, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, dan sembilan kementerian. Sembilan kementerian itu adalah Kemendagri, Kemenkeu, Kemenkum HAM, Kemenperin, Kemendag, Kemenhub, KKP, Kementerian BUMN, dan Kementerian LHK.
Bila Menhan tidak menerbitkan izin, tentu pengadaan senjata tersebut tidak bisa dilakukan. Leo menuturkan, dirinya pernah melakukan standardisasi senjata yang dimiliki KPLP, bea cukai, dan polairud. ’’ Tidak ada senjata pelontar granat seperti RPG dan yang semacam itu,’’ lanjutnya.
Lagi pula, selama ini para pemimpin instansi nonmiliter itu sebenarnya sudah paham mana yang boleh dan tidak boleh dimiliki. ’’Tapi, peraturannya harus segera dibuat lagi oleh Menhan dan dirumuskan bersama instansi pengguna senjata lainnya,’’ tambahnya.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi menilai, beberapa institusi memang tidak terang-terangan membuka informasi penggunaan senjatanya. Khususnya pada institusi yang terkait keamanan. ’’Bisa karena pembeliannya ilegal atau karena memang ingin merahasiakan kemampuan yang dimiliki,’’ terangnya. (idr/byu/c10/oki)