Warga Harus Cepat Pindah
SIDOARJO – Mendung duka terlihat pada wajah sejumlah warga yang menempati lahan sengketa di Desa Kedungrejo, Waru. Setelah keputusan eksekusi pada Rabu (28/9), mereka harus hengkang meninggalkan tempat tinggal yang dihuni bertahun-tahun itu. Barang-barang dan perabot di dalam rumah diangkut ke luar.
’’Kami akan menempati rumah saudara,’’ kata Taufiq, salah seorang warga yang menempati bangunan sengketa tersebut.
Beberapa di antara warga lain juga pindah ke sanak saudaranya. Rata-rata berada di sekitar Kecamatan Waru. Kabarnya, petugas memberikan waktu selambat-lambatnya minggu depan untuk mengosongkan lahan dan bangunan itu. Namun, pihaknya berupaya mengajukan perlawanan secara hukum. Taufiq yakin apa yang dilakukannya benar. Buktinya, ada surat kepemilikan tanah.
Humas Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo I Ketut Suarta menyebutkan, warga tergugat sudah selayaknya pindah. Berdasar ketetapan hukum, mereka kalah dan tidak memiliki hak atas tanah dan bangunan tersebut. ’’Putusannya sejak April 1985,’’ ungkapnya kemarin.
Dia menjelaskan, ada dua pihak yang bersengketa dalam kasus itu. Yakni, Suwarni dan Saudah. Suwarni merupakan ahli waris pemilik tanah Wagiyo. Adapun Saudah merupakan ahli waris pemilik tanah bernama Mansyur. Padahal, berdasar informasi awal, sertifikat lahan tersebut diwariskan Wagiyo kepada Suwarni.
Baik pihak Suwarni maupun Saudah memiliki bukti hitam di atas putih terhadap kepemilikan tanah seluas 0,118 hektare itu. Nah, kelompok warga yang tereksekusi, termasuk Taufiq, mendapatkan surat rumahnya dari Saudah. Mereka memilikinya secara turun-temurun.
Berdasar hasil putusan PK Mahkamah Agung pada Maret 1991, tanah tersebut sah dimiliki Suwarni. Hal itu disertai bukti-bukti yang kuat. Selanjutnya, sertifikat milik Taufiq dan belasan warga terdampak eksekusi dianggap tidak sah. Sebab, mereka mendapatkan sertifikat dari orang yang tidak tepat. Yakni, Mansyur.
’’Surat warisan tanah tersebut semula dibagi dua. Namun, oleh oknum tertentu dibagi menjadi lebih dari enam,’’ terang pria asal Buleleng itu.
Nah, dari sanalah konflik berawal. Sejak sertifikat atas kepemilikan sejumlah tanah tersebut terbagi-bagi, ada banyak pihak yang mengaku-ngaku memilikinya. Termasuk warga yang terdampak eksekusi. Namun, bila mengacu pada kekuatan hukum, warga yang tereksekusi seharusnya pindah.
’’Nah, karena warga yang kalah tidak mau pindah, akhirnya si pemilik mengajukan penggusuran,’’ lanjutnya.
Ketut menjelaskan, warga yang merasa dirugikan boleh melakukan proses hukum kembali selama ada bukti yang kuat. ’’Silakan melapor kepada polisi kalau merasa tertipu,’’ katanya. (jos/c22/hud)