Potensi Perang Kian Kuat
”KEPUTUSAN Presiden Trump itu bisa memicu tindakan yang berpotensi membuat kesepakatan nuklir dengan Iran buyar,” kata Trita Parsi, pendiri dan ketua National Iranian American Council, kepada The Hill. Jika nanti AS menarik diri secara sepihak dari kesepakatan tersebut, Iran pun bisa melakukan hal yang sama. Dengan demikian, Iran bisa langsung menggenjot program nuklirnya ke level yang lebih tinggi.
Di tengah krisis nuklir Korut, sikap AS terhadap Iran itu menjadi sinyal yang buruk bagi Pyongyang. Negara-negara Eropa yang ikut terlibat dalam perumusan kesepakatan nuklir Iran, Joint Comprehensive Plan of Action ( JCPOA), menyatakan bahwa keputusan Trump itu akan membuat rezim Kim Jong-un lebih sulit dikendalikan. Sebab, kesan yang kemudian tertangkap Korut adalah AS tidak bisa dipercaya.
Tapi, William Perry, mantan menteri pertahanan AS, punya pendapat berbeda. Menurut dia, Korut adalah perkecualian. ”Korut punya banyak pertimbangan yang berbeda dengan masyarakat internasional sebelum mengambil keputusan. Apa yang terjadi di negara lain mungkin saja memengaruhi atau tidak memengaruhi pertimbangan itu,” paparnya.
Kendati demikian, Perry menyayangkan keputusan Trump soal JCPOA. Sebab, masukan dari Menteri Luar Negeri Rex Tillerson dan Menteri Pertahanan Jim Mattis tentang kesepakatan nuklir Iran itu adalah positif. Yakni, Iran menjalankan komitmen mereka dengan patuh.
” Yang bisa kita lakukan adalah tidak membiarkan Gedung Putih dan Kongres menuruti kemauan Presiden Trump. Semoga Kongres bisa menyelesaikan tugas mereka dengan kepala dingin. Sebab, pertaruhannya terlalu tinggi,” imbau Marjorie Cohn, dosen emeritus Thomas Jefferson School of Law, melalui artikel dalam situs Global Research kemarin.
Sebagai pendukung Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPC), AS seharusnya paham bahwa negara nuklir tak boleh melontarkan ancaman terkait nuklir kepada pihak lain. Namun, pemerintahan Trump melakukannya kepada Iran dan Korut. Yakni, lewat JCPOA ke Iran dan provokasi berbau militer terhadap Korut.
Cohn menganggap sikap tersebut membahayakan. Sebab, sepanjang sejarah dunia, hanya AS negara nuklir yang telah benarbenar menggunakan bom atom dalam aksi militernya. Pada Agustus 1945, AS menjatuhkan bom nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki. Dalam peristiwa itu, sedikitnya 210.000 orang tewas.
”Saat itu semua orang yang sedang berada di luar rumah tewas seketika atau dalam waktu 48 jam kemudian. Sungguh mengerikan,” ungkap Akiko Mikamo, putri survivor bom atom Hiroshima, Shinji, dalam bukunya Rising From the Ashes: A True Story of
Survival and Forgiveness. Dia berharap tragedi itu tak terulang. (theatlantic/globalresearch/ newsweek/hep/c10/any)