Jawa Pos

Karena Bumi Itu untuk Tumbuh-tumbuhan

-

TERSUSUN dari perbukitan, batu-batu besar sangat mudah dijumpai di perbukitan Toraja Utara. Masyarakat sekitar meyakini, batu-batu tersebut merupakan bagian dari gunung berapi pada zaman purbakala. Meletus, kemudian batunya tersebar di penjuru wilayah yang masuk Sulawesi Selatan itu.

Dengan banyaknya batu itu, masyarakat setempat memanfaatk­annya untuk pemakaman. Bello Rampa’kila, salah seorang warga asal Tonga Riu, menuturkan bahwa orang Toraja punya alasan tersendiri soal penggunaan batu tersebut.

Pertama, batu bisa membuat mayat lebih awet daripada jika dipendam dalam tanah. Kedua, batu tidak akan hancur hingga ribuan tahun, juga tidak akan berpindah dari titik itu.

Yang paling penting, masyarakat Toraja meyakini bahwa tanah bukan tempat untuk memendam manusia. ’’Tanah, bumi, itu adalah tempat untuk tumbuh-tumbuhan. Untuk makanan kita. Jangan menjadi satu dengan jasad manusia,’’ ungkap Bello.

Ketika penduduk Toraja Utara belum sebanyak sekarang, siapa saja bisa bebas memilih batu. Satu batu biasanya untuk satu rumpun keluarga. Tetapi, untuk Lo’ko’ Mata, karena berukuran raksasa, batu tersebut diisi oleh penduduk satu lembang. Tonga Riu.

Batu setinggi gedung tiga lantai itu punya kurang lebih lima ruas barisan ’’jendela’’. Meski begitu, ruas-ruas liang tidak selalu menunjukka­n status keluarga atau jenazah yang disimpan di dalamnya. Liang yang ada di tingkat atas tidak berarti jenazah itu punya status sosial tinggi di masyarakat.

Posisi liang hanya menandakan siapa yang lebih dulu membuat. Lubang-lubang tertua justru berada di deretan bawah. Semakin ke atas biasanya semakin baru.

Bagi yang belum kebagian tempat di batu, keluarga akan membuat patane (makam berbentuk rumah) untuk yang meninggal. Patane dibangun menyerupai rumah kecil dengan tembok berlapis keramik. Bagian dalamnya pun bisa dibuat sekat seperti kamar. Setiap kamar diisi satu atau dua mayat.

Patane bisa menjadi makam permanen bagi sebagian masyarakat Toraja. Tetapi, di Tonga Riu, patane hanya bersifat sementara. Sembari keluarga membuat liang di batu, jenazah disimpan dulu dalam patane tersebut.

Pembuatan satu liang membutuhka­n waktu kurang lebih tiga bulan. Selain pemahatan liang memakan waktu berbulanbu­lan, biayanya tidak sedikit. Keluarga harus menabung dulu. Setelah jadi, barulah jenazah dipindahka­n ke dalam Lo’ko’ Mata. ’’Jenazah ayah saya pernah seperti itu, di patane dulu baru dipindahka­n,’’ tutur Marten Bumbungan, tokoh masyarakat Tonga Riu.

Dulu liang makam batu punya teras. Teras tersebut diisi oleh boneka berbentuk manusia yang menyerupai orang yang dimakamkan di lubang itu. Di Lo’ko’ Mata, hanya ada segelintir liang yang kini punya beranda. Dan, hanya ada satu liang yang dipasangi patung.

Warga Tonga Riu tidak lagi memasang patung orang meninggal di makam batu. Takut dicuri. ’’Ya, patung-patung itu dicuri untuk kemudian dijual ke kolektor seni,’’ kisah Marten. (deb/c4/ttg)

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? DAYA TARIK: Wisatawan mengunjung­i objek wisata pemakaman Londa, Tana Toraja, Sulawesi Selatan (14/9). Objek wisata ini termasuk destinasi utama wisatawan di Toraja.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS DAYA TARIK: Wisatawan mengunjung­i objek wisata pemakaman Londa, Tana Toraja, Sulawesi Selatan (14/9). Objek wisata ini termasuk destinasi utama wisatawan di Toraja.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia