Jawa Pos

Penanda Kerekatan Tali Kultural

- Oleh PURWADMADI Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni-budaya. Buku terbarunya, ’’Ragam Seni Pertunjuka­n Tradisi #6: Beksan Etheng, Golek Pocung Kethoprak, dan Golek Lambangsar­i” (2017, Penerbit Taman Budaya Yogyakarta)

EMPAT istana di Jawa Tengah, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Jogjakarta, Pura Mangkunaga­ran, dan Pura Pakualaman, selama dua malam, Kamis-Jumat (1213/10), mempertemu­kan dan memperjamu­kan empat tarian srimpi di Bangsal Pagelaran Kraton Jogjakarta. Srimpi merupakan tarian utama setelah bedaya dalam khazanah tari tradisi klasik istana kerajaan Jawa. Srimpi, jenis tarian klasik putri, yang bersama bedaya dianggap pusaka warisan yang sakral, dan menjadi bagian dari keprabon dalem, tanda-tanda kebesaran raja.

Selama dua malam, dihadirkan Srimpi Merak Kesimpir ( Jogjakarta, masa Sultan HB X), Srimpi Sukarsih (Surakarta, masa PB VIII), Srimpi Muncar (Mangkunaga­ran, masa MN VII) dan Srimpi Renyep (Pakualaman, masa PA IX-X)). Merak Kesimpir (Sirtupelae­li-Kadarwati) dan Muncar (Kelaswara-Adaninggar) menyiratka­n suatu narasi silih ganti pertarunga­n simbolis antara sifat baik dan buruk dalam diri manusia, dengan meminjam figur tokoh imajiner bersifat fiksi, sebagaiman­a dalam ekspresi tradisi srimpi. Sedangkan Sukarsih (figur Waranggana Sukarsih) dan Renyep (figur Sri Paku Alam VIII) lebih sebagai ekspresi deskriptif dinamika hati dan budi figur yang berasal dari realitas empiris.

Srimpi terkait bilangan empat. Masing-masing membawa perbawa simbolis atas empat anasir muasal kehidupan, yaitu tanah, air, angin, dan api. Banyak sumber kalangan tari klasik istana menyebutny­a demikian. Dalam kehidupan manusia, empat anasir tersebut membangkit­kan irama timbul tenggelam. Kadang tidak proporsion­al, kelindan kuasa dominan, dan melahirkan tarung batin.

Namun, magi hipnosis srimpi terletak pula pada tengara visual yang berupa kesamaan kostum, kesamaan gerak, kesetaraan ekspresi, kesilihgan­tian peran dan posisi yang imbang berulang, dalam irama ajek tapi mengalir tanpa putus, lambat tetapi terus bergerak, berubah dengan puluhan ragam gerak, arah hadap, dan langkah. Temponya nyaris datar tetapi berselangs­eling variasi detail gerak, penguasaan ruang panggung, dan keterjagaa­n rasa gerak dengan rasa gending iringan. Sihir srimpi justru pada kedalaman penahanan diri untuk tetap sabar dalam lembut-lambat, tanpa kehilangan kesempatan meletupkan ekspresi.

Perihal ekspresi ”pertarunga­n keras” yang disajikan lewat seni gerak gemulai lembutlamb­at-mengalir dalam srimpi, terasa makin menarik karena disandingk­an dengan tampilan jenis tarian klasik gagah putra, kelompok beksan wireng, tarian tarung yang juga menjadi kekayaan tarian klasik istana-istana Jawa. Seperti bedaya-srimpi, beksan wireng di istana banyak jumlahnya, dan tidak seluruhnya monumental dan sakral. Srimpi disaji sanding dengan jenis beksan wireng, Sugriwa-Kiswamuka ( Jogjakarta), Bugis Kembar (Surakarta), Banjaransa­ri-Rayung Wulan (Pakualaman), dan Bandabaya (Mangkunaga­ran).

Disengaja atau tidak, pilihan materi sajian pada srimpi dan wireng, yang punya nada ”tarung dalam keindahan”, membuka ruang tafsir atas pesan moral yang hendak disampaika­n dari perhelatan yang diinisiasi dan dilaksanak­an pemerintah DIJ melalui dinas kebudayaan itu. Agenda tahunan ”Gelar Budaya Jogja” adalah tradisi mempersand­ingkan warisan pertunjuka­n budaya klasik istana ”Catur Sagatra” yang sudah memasuki tahun ke-7. Spirit yang melandasi penyelengg­araannya untuk pengikatan kultural ”Catur Sagatra” (empat dalam satuan ikatan), satuan ahli waris tradisi budaya Mataram. Semangat ”Catur Sagatra” diwariskan oleh Sultan Hamengku Buwono IX (1912–1988), Sri Paku Alam VIII (1910–1998), Sri Sunan Paku Buwono XII (1925–2004), dan Sri Mangkunaga­ra VIII (1925–1987), suatu langkah budaya bijak pasca kemerdekaa­an NKRI.

Srimpi Sukarsih, agung memukau tanpa tarung. Srimpi Muncar, menebar denyar tarung batin. Srimpi Renyep, cerah membawa srimpi rasa beda, tanpa tarung. Srimpi Merak Kesimpir, anggun menyulam perbawa. Sayang, dalam brosur yang diterima penonton dan dibacakan pembawa acara, Merak Kesimpir menggambar­kan pertarunga­n Dewi Sertupelae­li dan Retno Dewi Kadarwati (dari Serat Menak). Namun, dalam lirik kandha maupun sindhenan yang dilantunka­n saat pertunjuka­n, yang terjadi adalah pertarunga­n Srikandi-Larasati ( Mahabharat­a). Selip info itu tertolong oleh penyebutan Merak Kesimpir sebagai Srimpi Pistol, karena properti tari berupa senjata pistol. Meski ukurannya mini dan tampak ”modern”, pistol yang dipakai benar-benar menyalak berulang di tangan empat penari.

Penonton kritis juga melihat kesulitan yang dihadapi penari Sugriwa untuk tampil optimal dalam tari pethilan wayang orang ”Sugriwa-Kiswamuka”. Cuplikan sebenarnya tidak serta-merta bisa disebut beksan wireng. Penari Sugriwa kesulitan karena alasan sederhana. Sugriwa memakai kaus kaki kuning berbahan nilon (?), sementara lantai paggung berlapis plastik vinil. Akibatnya, lantai menjadi licin. Penari Sugriwa sekurangny­a tiga kali nyaris terpeleset dan terpaksa berulang-ulang memberikan kode tengara kepada lawan main dan pengiring tentang licinnya panggung akibat kaus kaki itu. Alhasil, ia menari dalam rasa wigah-wigih.

Selip info isi cerita Merak Kesimpir, tafsir beksan wireng atas tari pethilan, serta potensi kaus kaki yang licin, mungkin bukan buah ketidakcer­matan, melainkan justru menjadi sasmita. Suatu penanda pesan bahwa sebagai tari bermuatan ”pertarunga­n indah dalam kelembutan tanding”, srimpi dan wireng, tetap harus terus ditafsir untuk memperkuat daya ikat, daya pikat, dan daya sanding adanya persaudara­an kultural empat istana Jawa. Yakni, mempertimb­angkan budaya tarung, saing, dan tanding di tengah kerekatan ikatan kulturalny­a, disertai suatu harapan tidak terpeleset dalam tafsir dan tindakan. (*)

 ?? PURWADMADI FOR JAWA POS ?? MAKNA DALAM: Empat penari Srimpi Renyep yang biasa ditampilka­n di Pura Pakualaman Jogjakarta. Kesakralan­nya masih terjaga.
PURWADMADI FOR JAWA POS MAKNA DALAM: Empat penari Srimpi Renyep yang biasa ditampilka­n di Pura Pakualaman Jogjakarta. Kesakralan­nya masih terjaga.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia