Penanda Kerekatan Tali Kultural
EMPAT istana di Jawa Tengah, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Jogjakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualaman, selama dua malam, Kamis-Jumat (1213/10), mempertemukan dan memperjamukan empat tarian srimpi di Bangsal Pagelaran Kraton Jogjakarta. Srimpi merupakan tarian utama setelah bedaya dalam khazanah tari tradisi klasik istana kerajaan Jawa. Srimpi, jenis tarian klasik putri, yang bersama bedaya dianggap pusaka warisan yang sakral, dan menjadi bagian dari keprabon dalem, tanda-tanda kebesaran raja.
Selama dua malam, dihadirkan Srimpi Merak Kesimpir ( Jogjakarta, masa Sultan HB X), Srimpi Sukarsih (Surakarta, masa PB VIII), Srimpi Muncar (Mangkunagaran, masa MN VII) dan Srimpi Renyep (Pakualaman, masa PA IX-X)). Merak Kesimpir (Sirtupelaeli-Kadarwati) dan Muncar (Kelaswara-Adaninggar) menyiratkan suatu narasi silih ganti pertarungan simbolis antara sifat baik dan buruk dalam diri manusia, dengan meminjam figur tokoh imajiner bersifat fiksi, sebagaimana dalam ekspresi tradisi srimpi. Sedangkan Sukarsih (figur Waranggana Sukarsih) dan Renyep (figur Sri Paku Alam VIII) lebih sebagai ekspresi deskriptif dinamika hati dan budi figur yang berasal dari realitas empiris.
Srimpi terkait bilangan empat. Masing-masing membawa perbawa simbolis atas empat anasir muasal kehidupan, yaitu tanah, air, angin, dan api. Banyak sumber kalangan tari klasik istana menyebutnya demikian. Dalam kehidupan manusia, empat anasir tersebut membangkitkan irama timbul tenggelam. Kadang tidak proporsional, kelindan kuasa dominan, dan melahirkan tarung batin.
Namun, magi hipnosis srimpi terletak pula pada tengara visual yang berupa kesamaan kostum, kesamaan gerak, kesetaraan ekspresi, kesilihgantian peran dan posisi yang imbang berulang, dalam irama ajek tapi mengalir tanpa putus, lambat tetapi terus bergerak, berubah dengan puluhan ragam gerak, arah hadap, dan langkah. Temponya nyaris datar tetapi berselangseling variasi detail gerak, penguasaan ruang panggung, dan keterjagaan rasa gerak dengan rasa gending iringan. Sihir srimpi justru pada kedalaman penahanan diri untuk tetap sabar dalam lembut-lambat, tanpa kehilangan kesempatan meletupkan ekspresi.
Perihal ekspresi ”pertarungan keras” yang disajikan lewat seni gerak gemulai lembutlambat-mengalir dalam srimpi, terasa makin menarik karena disandingkan dengan tampilan jenis tarian klasik gagah putra, kelompok beksan wireng, tarian tarung yang juga menjadi kekayaan tarian klasik istana-istana Jawa. Seperti bedaya-srimpi, beksan wireng di istana banyak jumlahnya, dan tidak seluruhnya monumental dan sakral. Srimpi disaji sanding dengan jenis beksan wireng, Sugriwa-Kiswamuka ( Jogjakarta), Bugis Kembar (Surakarta), Banjaransari-Rayung Wulan (Pakualaman), dan Bandabaya (Mangkunagaran).
Disengaja atau tidak, pilihan materi sajian pada srimpi dan wireng, yang punya nada ”tarung dalam keindahan”, membuka ruang tafsir atas pesan moral yang hendak disampaikan dari perhelatan yang diinisiasi dan dilaksanakan pemerintah DIJ melalui dinas kebudayaan itu. Agenda tahunan ”Gelar Budaya Jogja” adalah tradisi mempersandingkan warisan pertunjukan budaya klasik istana ”Catur Sagatra” yang sudah memasuki tahun ke-7. Spirit yang melandasi penyelenggaraannya untuk pengikatan kultural ”Catur Sagatra” (empat dalam satuan ikatan), satuan ahli waris tradisi budaya Mataram. Semangat ”Catur Sagatra” diwariskan oleh Sultan Hamengku Buwono IX (1912–1988), Sri Paku Alam VIII (1910–1998), Sri Sunan Paku Buwono XII (1925–2004), dan Sri Mangkunagara VIII (1925–1987), suatu langkah budaya bijak pasca kemerdekaaan NKRI.
Srimpi Sukarsih, agung memukau tanpa tarung. Srimpi Muncar, menebar denyar tarung batin. Srimpi Renyep, cerah membawa srimpi rasa beda, tanpa tarung. Srimpi Merak Kesimpir, anggun menyulam perbawa. Sayang, dalam brosur yang diterima penonton dan dibacakan pembawa acara, Merak Kesimpir menggambarkan pertarungan Dewi Sertupelaeli dan Retno Dewi Kadarwati (dari Serat Menak). Namun, dalam lirik kandha maupun sindhenan yang dilantunkan saat pertunjukan, yang terjadi adalah pertarungan Srikandi-Larasati ( Mahabharata). Selip info itu tertolong oleh penyebutan Merak Kesimpir sebagai Srimpi Pistol, karena properti tari berupa senjata pistol. Meski ukurannya mini dan tampak ”modern”, pistol yang dipakai benar-benar menyalak berulang di tangan empat penari.
Penonton kritis juga melihat kesulitan yang dihadapi penari Sugriwa untuk tampil optimal dalam tari pethilan wayang orang ”Sugriwa-Kiswamuka”. Cuplikan sebenarnya tidak serta-merta bisa disebut beksan wireng. Penari Sugriwa kesulitan karena alasan sederhana. Sugriwa memakai kaus kaki kuning berbahan nilon (?), sementara lantai paggung berlapis plastik vinil. Akibatnya, lantai menjadi licin. Penari Sugriwa sekurangnya tiga kali nyaris terpeleset dan terpaksa berulang-ulang memberikan kode tengara kepada lawan main dan pengiring tentang licinnya panggung akibat kaus kaki itu. Alhasil, ia menari dalam rasa wigah-wigih.
Selip info isi cerita Merak Kesimpir, tafsir beksan wireng atas tari pethilan, serta potensi kaus kaki yang licin, mungkin bukan buah ketidakcermatan, melainkan justru menjadi sasmita. Suatu penanda pesan bahwa sebagai tari bermuatan ”pertarungan indah dalam kelembutan tanding”, srimpi dan wireng, tetap harus terus ditafsir untuk memperkuat daya ikat, daya pikat, dan daya sanding adanya persaudaraan kultural empat istana Jawa. Yakni, mempertimbangkan budaya tarung, saing, dan tanding di tengah kerekatan ikatan kulturalnya, disertai suatu harapan tidak terpeleset dalam tafsir dan tindakan. (*)