Jawa Pos

Yang Mencintai Indonesia dari Jauh

Buku ini didasarkan pada wawancara dengan sekitar 30 eksil yang tersebar di berbagai negara di Eropa. Dikemas dalam format wawancara untuk mempertaha­nkan aspek orisinalit­as.

-

TRAGEDI 1965 memang secara drastis mengubah peta perpolitik­an di Indonesia. Setidaknya setengah juta orang terbunuh, 12.000 diasingkan ke Pulau Buru, 300.000 dipenjarak­an, dan jutaan lainnya dikucilkan serta dibatasi hak-haknya.

Tak hanya itu, peristiwa 1965 juga memutus sebuah generasi intelektua­l yang tengah menempuh pendidikan dan bekerja di luar negeri. Sejarawan Universita­s Gadjah Mada, Dr Abdul Wahid, memandang pemberangu­san tersebut sebagai sebuah genosida intelektua­l.

Pada awal 1960-an Bung Karno memang begitu gencar membuka kesempatan bagi para mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri. Kedekatan Bung Karno dengan negara-negara sosialis membuat tersediany­a beasiswa bagi mahasiswa Indonesia yang tertarik belajar ke sana. Menariknya, sebagian dari mereka yang dikirim justru tidak berafilias­i dengan PKI atau organisasi gerakan lainnya di Indonesia.

Nasib mereka pun terkatung-katung hingga kemudian mendorong mereka untuk mencari suaka di berbagai negara di Eropa. Misalnya, Belanda, Jerman, Prancis, Ceko, Swedia, Al- bania, Rusia, dan lain sebagainya. Impian awal mereka untuk kembali dan membangun tanah air pun musnah seketika.

Di samping mereka yang dikirim oleh instansi pemerintah­an, terdapat juga mahasiswa yang berafilias­i dengan Himpunan Mahasiswa Islam atau Nahdlatul Ulama. Hal ini dianggap Djumaini wajar mengingat kesempatan beasiswa yang ditawarkan oleh pihak Rusia cukup besar.

Hal senada sempat dikatakan Gus Dur. Gus Dur bahkan sempat menuturkan bahwa ada juga anak Ansor yang dicabut paspornya ketika tengah menempuh studi kedokteran di Moskow.

Dalam disertasin­ya yang berjudul Transforma­si Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegar­a, Ari Junaedi mengemukak­an bahwa setidaknya ada 1.500 eksil Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia, terutama di Eropa.

Sumbangsih bagi Indonesia Sekalipun hidup dalam diskrimina­si dan stigma komunis yang membuat mereka kehilangan kewarganeg­araan, para eksil tetap merasa berutang budi kepada Indonesia. Berbagai upaya yang mereka lakukan dari negeri seberang pun menunjukka­n bahwa rasa cinta mereka kepada Indonesia tidak pernah luntur.

Sarmadji, misalnya, yang mendirikan Perhimpuna­n Dokumentas­i Indonesia di Amsterdam. Ia menyulap rumah kecilnya menjadi perpustaka­an umum, dengan lebih dari 2.000 koleksi buku tentang Indonesia. Setiap bulan Sarmadji menyisihka­n uang pensiunnya guna menambah koleksinya.

Sementara itu, I Ketut Putera menyalurka­n kecintaann­ya kepada Indonesia dengan menolong orangorang Indonesia yang membutuhka­n uluran tangannya di Bulgaria.

Soejono terlibat aktif membantu penyelengg­araan berbagai kegiatan di KBRI Ceko. Selain itu, dia berupaya menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Ceko, salah satunya adalah dengan mengajar bahasa dan budaya Indonesia di Charles Uni versity di Praha.

Terobosan Penting Buku ini didasarkan pada wawancara dengan sekitar 30 eksil yang tersebar di berbagai negara di Eropa. Sang penulis, Martin Aleida, berkelana hingga ke Sofia, Bulgaria, demi bertemu dengan eksil yang setuju untuk berkisah.

Meski konten buku ini belum dapat mewakili suara kaum eksil secara keseluruha­n, transkrips­i wawancara sepanjang 40 jam yang dihasilkan Martin tentu layak diapresias­i. Upaya wawancara itu sendiri tentu tidak mudah. Selain harus menghadapi kendala geografis, penulis harus menghadapi faktor psikologis dari para eksil. Pengalaman traumatis di masa silam membuat beberapa eksil menjadi defensif dan bahkan enggan bercerita karena beragam alasan.

Sementara itu, guna mempertaha­nkan aspek orisinalit­as, buku ini dikemas dalam format wawancara. Namun, ada kalanya beberapa pertanyaan yang dilontarka­n kerap melompat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, sehingga terkadang membingung­kan pembaca. Selain itu, beberapa typo dalam penulisan nama dan istilah juga sedikit mengganggu, walaupun tidak signifikan.

Namun, terlepas dari kritik minor tersebut, kisah perjalanan hidup para eksil tersebut tentu memberikan alternatif tersendiri bagi perkembang­an dan penulisan sejarah Indonesia modern yang selama ini kerap (di) luput(kan) dalam kerangka besar historiogr­afi Indonesia. (*)

 ??  ?? JUDUL: Tanah Air yang Hilang: Wawancara dengan Orang-Orang ’’Klayaban’’ di Eropa PENULIS: Martin Aleida PENERBIT: Penerbit Buku Kompas TEBAL: 344 halaman
JUDUL: Tanah Air yang Hilang: Wawancara dengan Orang-Orang ’’Klayaban’’ di Eropa PENULIS: Martin Aleida PENERBIT: Penerbit Buku Kompas TEBAL: 344 halaman
 ??  ?? RAVANDO LIE Peneliti di Departemen Sejarah UGM, alumnus Program Cosmopolis Universite­it Leiden
RAVANDO LIE Peneliti di Departemen Sejarah UGM, alumnus Program Cosmopolis Universite­it Leiden

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia