Dulu Pernah Seharga Rp 35 Juta Per Meter
Batik Sekardangan pernah memasuki zaman keemasan. Namun, belakangan ia meredup. Adalah Sugiati, satu-satunya pengusaha batik Sekardangan yang masih bertahan. Tidak ingin aset itu tinggal kenangan, SMAN 3 Sidoarjo yang berada di Sekardangan ikut tergerak untuk menjaga batik agar tetap lestari.
” YA, batik Sekardangan ini dulu sangat terkenal,” ungkap Sugiati mengawali pembicaraan saat menerima kedatangan Jawa Pos di sela-sela mendampingi pelatihan membatik di SMAN 3 Sidoarjo beberapa hari lalu.
Perempuan kelahiran 1954 itu lantas menarik napas. Dia berupaya mengumpulkan kembali memori tentang batik legendaris tersebut. Menurut Sugiati, batik Sekardangan ada sejak zaman dulu. Dia tidak ingat persis. Yang jelas, batik Sekadarangan merupakan salah satu batik khas Sidoarjo yang tertua. ’’Lebih tua dari batik Jetis dan batik Kenongo,’’ katanya.
Nenek moyang Sugiati pun menjadi salah seorang pembatiknya. Nenek Sugiati yang bernama Mbah Ami juga membatik. Ibunya yang bernama Musni pun membatik. ”Sebelum nenek saya juga sudah membatik. Tapi, maaf saya sudah tidak ingat nama buyut,’’ ujar Sugiati, lantas tersenyum.
Usaha turun-temurun tersebut dilanjutkan Sugiati. Dia memproduksi batik di rumahnya. Yakni, di RT 3, RW 1, Sekardangan. ”Saya jadi satu-satunya pengusaha batik Sekardangan yang masih ada,” ucapnya.
Menurut dia, sudah banyak pengusaha lain yang gulung tikar. Maklum, sudah tidak banyak yang mengenal. Hanya kalangan tertentu yang membeli. Sebab, harganya relatif mahal. ”Sebulan bisa laku empat batik saja sudah alhamdulillah,” tuturnya.
Jika dilihat dari kualitas dan tingkat kesulitan pembuatannya, batik Sekar- dangan tidak mahal. Apalagi, batik itu bisa bertahan hingga ratusan tahun. Sebab, proses pembuatan dengan bahan natural membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Salah satu proses yang cukup memakan waktu dan jadi ciri khas batik Sekardangan ialah pada kain. Sebelum dibatik, kain bahan dasar harus direndam dengan menggunakan soda abu dan minyak kacang. Biasanya, kain tersebut direndam selama 4–5 jam, lalu dikeringkan. Setelah kering, kain itu direndam lagi. Prosesnya begitu terus hingga 5–6 kali. ”Proses ini saja bisa menghabiskan waktu satu minggu,” katanya.
Selain itu, ciri khasnya terletak pada motif. Motifnya banyak. Mulai motif delapan penjuru, pring sedapur, miciko (bermotif paduan ayam bekisar dan bungai teratai), mahkota, sumping bali, fajar menyingsing, moto doro, sri menanjung, hingga bukitan. Yang menarik, ternyata dulu hanya batik Sekardangan yang bisa diagunkan di pegadaian. Batik lain tidak bisa. Sugiati pernah membuktikannya. Dulu dia pernah menggadaikan 15 potong kain batik untuk gaji karyawannya.
Saat ini harga satu potong batik Sekardangan ukuran 2,5 meter mencapai rata-rata Rp 1,5 juta. Paling mahal, batik Sekardangan dijual Rp 2,3 juta. Harga bergantung motifnya. ”Dulu malah ada yang sampai dijual Rp 35 juta per 1 meternya. Tapi, kalau sekarang jual yang kayak gitu, ya nggak laku,” kelakarnya.
Khawatir batik Sekardangan tinggal menjadi kenangan, SMAN 3 Sidoarjo mempunyai program khusus untuk pelestarian. Mereka memilih empat anak dari 32 kelas di sekolah tersebut. Tidak hanya itu, pihak sekolah saat ini juga mulai membukukan segala informasi tentang batik Sekardangan. ”Nanti kami buatkan buku pedoman tentang batik Sekardangan biar jejaknya masih bisa ditelusuri,’’ ujar Kepala SMAN 3 Sidoarjo Eko Redjo Sunariyanto. (*/c20/hud)