Jawa Pos

Kenali Gejala Burnout, Konsultasi ke Ahlinya

Tema peringatan Hari Kesehatan Jiwa tahun ini adalah

- M. SALSABYL ADN

Mental Health in the Workplace. Ternyata, tempat kerja berpotensi membuat seseorang mengalami gangguan jiwa. Jika bisa dideteksi dini, ditangani dengan tepat, dan diobati sampai tuntas, gangguan tersebut bisa terkontrol dengan baik.

WAJAH HP terlihat tenang saat berkunjung ke klinik psikiatri RSUD Sidoarjo Jumat (6/10). Dia bersama sang istri dan anak bungsunya duduk di hadapan pskiater dr Liana Nurhayati SpKJ. Saat itu dia menjalani konseling terhadap keluhan yang dialami sejak sepuluh tahun lalu. ’’Dimulai dari gangguan tidur. Itu saya alami sekitar 2007,’’ kata HP setelah menjalani konseling.

Laki-laki 37 tahun tersebut baru bisa tidur menjelang pagi. Itu pun tidak bisa lama. Sebab, adakalanya dia kebagian sif pagi atau mengantar anaknya ke sekolah. ’’Baru bisa tidur setelah dipijat atau dikerok sama istri,’’ ucapnya. ’’Kalau kondisi tubuh sangat capek malah gak tidur,’’ tambahnya.

Kondisi tersebut diperkirak­an terjadi lantaran sistem kerja di pabrik yang memberlaku­kan tiga sif. Yakni, sif pagi pukul 07.00–15.00; sif sore pukul 15.00– 23.00; dan sif malam pukul 23.00–07.00. Jika kebagian sif malam, HP otomatis begadang seminggu penuh. ’’Saya sih tidak ada masalah di kantor. Dengan teman kerja juga baik-baik saja,’’ ungkapnya. ’’Karena itu, saya bingung penyebab susah tidur ini,’’ lanjutnya.

Karena tidak mau merepotkan sang istri, HP berusaha mencari cara lain agar bisa tidur. Yakni, minum obat-obatan kimia. Salah satunya, obat untuk mengatasi alergi. Obat tersebut diketahui membuat pasien jadi mudah tidur. Selain itu, HP mengonsums­i obat flu yang diyakini bisa membuatnya tertidur.

Cara itu malah membuat HP sengsara. Yang dirasakan bukan hanya gangguan tidur. Tetapi juga rasa sakit di lambung. Dia pun berhenti bekerja pada 2010 karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. ’’Sehabis perusahaan bangkrut, saya buka usaha sendiri. Cuma, kalau lagi kumat, ya langsung istirahat,’’ katanya.

Berhenti bekerja tidak membuat kondisi HP kian membaik. Keluhan susah tidur dan gangguan lambung terus dialami. Penyebabny­a pun tidak diketahui secara pasti. ’’Saya juga tidak stres dan tidak mikir aneh-aneh. Tapi, tetap tidak bisa tidur,’’ ungkapnya.

Hingga dua bulan lalu, HP memberanik­an diri periksa ke dokter. Dengan diantar istrinya, dia berobat ke RSUD Sidoarjo. Setelah mengungkap­kan keluhan yang dialami, HP diminta berobat ke klinik psikiatri. Tiga kali konsultasi, dia merasa jauh lebih baik. ’’Saya bisa tidur agak lama. Gangguan lambung juga berkurang,’’ tutur HP. ’’Saya merasa normal kembali. Tak lagi mudah marah saat anak-anak ramai bermain,’’ paparnya.

Fenomena itu menjadi salah satu gambaran adanya gangguan kejiwaan pada masyarakat modern. Padahal, banyak faktor yang mengkibatk­an burnout di tempat kerja. Misalnya, lingkungan kerja. Faktor penyebabny­a bisa berupa beban kerja, jenis pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, maupun jam kerja.

Liana menuturkan, gangguan tidur merupakan keluhan terbanyak pasien yang konsultasi kepadanya. ’’Kasusnya memang beragam dan tidak bisa ditentukan dengan satu faktor saja. Karena itu, saat keluarga sudah melihat adanya perubahan perilaku, sebaiknya segera dikonsulta­sikan ke dokter,’’ paparnya.

***** Meski pernah menderita gangguan jiwa, pasien tetap bisa beraktivit­as secara normal. Bahkan bekerja. Hal itu bisa terlaksana jika ada terapi yang tepat dan dukungan dari orang sekitar. Tidak terkecuali atasan dan teman kerja. Menurut dr Liana Nurhayati SpKJ, pasien dengan riwayat gangguan jiwa tidak mudah mendapatka­n pekerjaan. Mereka harus mempunyai kemampuan mental untuk bisa menyesuaik­an diri.

’’ Positive relationsh­ip memang sangat dibutuhkan di lingkungan kerja. Bukan hanya untuk penderita gangguan jiwa, tapi semua orang di tempat kerja tersebut,’’ jelasnya.

Liana menyatakan, penyembuha­n beberapa pasiennya cepat karena mendapat dukungan dari semua pihak. Jika memang dirasa belum sanggup mendapatka­n tekanan pekerjaan, pasien disarankan untuk memiliki usaha sendiri. ’’Jangan diskrimina­si. Dengan pengobatan yang tuntas, pasien bisa hidup di kalangan masyarakat dengan baik,’’ tambahnya.

Contohnya, C. Dia menderita psikosis selama 25 tahun. Hingga kini, dia masih bekerja sebagai kondektur bus antarkota antarprovi­nsi (AKAP). Kisah itu berakhir beda jika dia masih mempertaha­nkan rasa mindernya di lingkungan sekitar. ’’Saat kali pertama dirawat, saya berusaha menyembuny­ikan diri dari teman kerja karena saya takut. Yang tahu hanya keluarga,’’ jelasnya.

Namun, rahasia itu, tampaknya, susah untuk dipegang hingga akhir hayat. Lamakelama­an kabar bahwa C dirawat di RSJ Dr Radjiman Wediodinin­grat, Lawang, Malang, beredar luas. Yang membuat C kuat, teman sekerja tidak ada yang menjauhiny­a. ’’Teman dan perusahaan tetap menunggu saya dan menerima saya untuk tetap bekerja,’’ ungkapnya.

Tidak mudah melihat ketulusan rekan-rekan kerja. Selama hampir delapan tahun C tetap menyimpan rasa minder yang tinggi karena penyakit yang diderita. Hingga pada 2000 dia memutuskan tidak mau lagi menjalani rawat inap di RSJ. Dia merasa bahwa dukungan istrinya, NC, dan temanteman­nya sangat berarti buat penyembuha­nnya. ’’Sampai sekarang saya tetap bekerja. Cuma kontrol dua bulan sekali untuk tahu kondisi saya,’’ paparnya. (*/c15/ai)

 ?? FOTO DIPERAGAKA­N MODEL, HANUNG HAMBARA/JAWA POS ?? BUTUH ME TIME: Ajeng Pramitasar­i mengekspre­sikan kekesalan di tempat kerjanya. Jika memang ada masalah, perbaiki komunikasi dengan atasan maupun teman kerja.
FOTO DIPERAGAKA­N MODEL, HANUNG HAMBARA/JAWA POS BUTUH ME TIME: Ajeng Pramitasar­i mengekspre­sikan kekesalan di tempat kerjanya. Jika memang ada masalah, perbaiki komunikasi dengan atasan maupun teman kerja.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia