Delapan Kali Gagal Tes Kedokteran, Berlabuh ke Bisnis Kuliner
Dunia wirausaha tidak asing lagi bagi Aisyah Khairunnisa. Apalagi, orang tuanya juga memiliki usaha sendiri. Sang ibu, Uyik Unari, merupakan pemilik Klinik Mata Utama ( KMU). Ayahnya, Muhammad Rusli, adalah pebisnis properti.
DARAH wirausahawan telah mengalir pada Aisyah Khairunnisa. Sejak kecil, perempuan yang akrab dipanggil Nisa itu pun telah melihat orang tuanya merintis usaha. ”Sejak umur lima tahun, aku udah ngelihat ayah menjalankan bisnis baby shop sama tanteku sebelum dia berbisnis properti,” katanya.
Karena itu, ucap perempuan 24 tahun ter sebut, secara tidak langsung, dunia wi rausaha terekam dalam otaknya pada usia dini. Dia pun berkeinginan kuat men jadi pebisnis ketimbang pegawai. Na mun, dalam perjalanannya, Ni sa sempat ter goda untuk menjadi se orang dokter.
Apalagi, sang ibu yang merupakan dokter spesialis mata kerap bercerita bahwa seorang dokter itu mempunyai banyak kesempatan menolong orang lain. Nisa pun mencoba menjajalnya. Begitu lulus SMA pada 2012, dia mengikuti tes masuk kedokteran. Tak tanggung-tanggung, ada delapan PTN yang dijajal. Namun, tidak ada satu pun yang lolos.
Kegagalan tersebut mendorong Nisa untuk kembali pada rencana awal yang kala itu dijadikan plan B. Yakni, menjadi pebisnis. ’’Waktu itu aku emang punya rencana B yang lebih spesifik. Kalau nggak keterima dokter, aku pengin jadi orang yang punya klinik, rumah sakit, atau restoran,” tuturnya.
Nisa kemudian bergumul dengan ilmu ma najemen bisnis di Universitas Pra setiya Mulya, Jakarta. Tepat pada Agustus 2016, dia menyelesaikan studi strata satunya. Men jelang wisuda, dia ba nyak sharing dengan sesama teman me ngenai rencana yang akan dilakukan se telah lulus. Yaitu, mem buka sebuah bis nis. ’’ Terus, dari situ, ada kesempatan yang datang. Teman baikku nawarin aku buat buka bisnis itu di kota ke lahiranku, Gresik,’’ kenang nya.
Sejak awal, Nisa siap dengan segala risiko. Dia menyadari betul bahwa bisnis penuh ketidakpastian. Artinya, bisnisnya bisa berhasil atau gagal. Hal pertama yang dilakukan Nisa adalah riset pasar selama dua bulan. Dia kerap nyanggong di depan lokasi yang bakal dijadikan tem pat bisnis. Dia juga menyebar kuesioner hingga mengunjungi puluhan kafe lain.
Restoran pun dibuka pada akhir Februari 2017. Meski restorannya buka belum genap setahun, omzet kotor sudah mencapai rata-rata Rp 150 juta per bulan dengan total 11 pegawai.
Nisa menyebutkan, mengelola SDM menjadi salah satu tantangan terberat. ’’Ternyata, ngatur orang itu juga butuh energi yang besar. Kadang kalau mau marah, ya nggak segampang yang dipikir orang lain. Masak mau marahin anak orang. Tapi, ya harus. Aku sampai pernah nangis saking hopeless- nya. Butuh keberanian, dan seni untuk menghadapi berbagai karakter pegawai,” ungkapnya.
Setiap bulan, Nisa melakukan evaluasi pada tiga hal utama. Yakni, SDM, sistem, dan kompetitor. Ide-ide pun harus selalu dikembangkan. Misalnya, strategi pemasaran yang paling jitu dan peka membaca lingkungan. ’’ Mikir terus, strategi apa yang bisa bikin bisnis ini tetap bertahan, berkelanjutan, dan lebih unggul,” katanya.
Perempuan yang gemar membaca itu mengaku menggunakan sebagian besar omzetnya untuk menabung. Sebab, dia ingin melanjutkan pendidikan. Dia berharap bisa menjadi mahasiswa di Le Cordon Bleu, Australia, tahun depan.
’’Mau ngambil jurusan kuliner. Ditempuh kurang lebih dua tahun. Pada dasarnya, aku suka memasak. Aku pengin tahu segala detail tentang memasak. Misalnya, manajemen dapur. Nanti, ilmunya bisa buat ngembangin usaha kayak buka toko bakery,” pungkasnya. (*/c20/dio)