Tak Cukup Hanya Memandang
Menikmati Pameran Seni Jangan Sentuh
SURABAYA – Jangan sentuh. Kalimat itu sering kita lihat dalam sebuah pameran karya seni. ’’Perintah’’ tersebut diletakkan tidak jauh dari setiap karya. Itu menandakan sebuah larangan agar pengunjung tidak menyentuh material yang dipamerkan. Tabu juga dilakukan senimannya. Mereka hanya diperbolehkan menikmati karya seni dengan cara memandang.
Ternyata, kalimat itu mengusik beberapa seniman yang tergabung dalam pameran yang dikuratori Hendro Wiyanto. Jangan Sentuh berlangsung di Visma Art & Design Gallery mulai Kamis (12/10) hingga 10 November.
Menyentuh barang seni sah-sah saja, asal tidak bertujuan merusaknya. Menyentuh juga dapat diartikan luas dalam makna cara menikmati karya seni. Sentuhan dengan pandangan secara detail. Tindakan tersebut disempurnakan dengan sentuhan tangan agar makna karya bisa tersampaikan dengan baik. ’’Saya anggap menyentuh itu sebuah cara menikmati,” ungkap Hendro.
Yang dipamerkan bukan hanya lukisan di atas kanvas. Kreativitas seniman di pameran itu sangat luas sehingga bisa membuat kreasi yangy g unik. Mereka berjumlah tujuh orang.rang. Yakni, Irfan Hendrian, Iwan Yusuf,usuf, Mujahidin Nurrahman, Oktaviyani,yani, Suranto, Widi Pangestu Sugiono, ono, dan Yudi Sulistyo.
Iwan Yusuf memamerkan limama karya di galeri yang masukk nomine Best Young Gallery oleh h Indonesia Artwork tersebut. t. Material utamanya jala ikan.n. Untaian serat-serat halus benang g jala dikreasikan seniman 35 tahunun tersebut menjadi wujud seni yang ang unik. ’’Saya memakai jala ini sejak ejak 5 tahun terakhir,’’ ungkapnya.
Jala dijahit Iwan di kanvas. Satu per satu. Awalnya, Iwan mengatakanakan fokus pada bentuk potret wajah manusia. ’’Dari jaring-jaring ikan, saya membuat lukisan realis,’’ paparnya. Artinya, bahan jala yang mengikuti ide Iwan. Beberapa karyanya pernah dipamerkan. Kali terakhir pada 2015 di Jakarta.
Dua tahun berikutnya, Iwan sempat berhenti. Pameran di Surabaya kali ini menjadi momen titik baliknya. Karena itu, dia ingin memberikan karya yang spesial. Tetap menggunakan jala. Namun, konsepnya diubah. Pria asli Gorontalo, Sulawesi, itu mengikuti karakteristik bahan yang digunakan. ’’Hasilnya tidak mengikuti ide saya. Tapi, saya mengikuti kelenturan jala yang saya pakai,’’ ungkapnya.
Perubahan konsep tersebut tentu berpengaruh pada karya Iwan. Dari realis menjadi abstrak. Namun, menurut dia, konsep barunya itu memberikan hasil yang berbeda. Iwan sendiri sebagai pembuatnya selalu merasa terkejut dengan hasil akhirnya. ’’Karena tidak tahu awalnya nanti jadi apa,’’ paparnya. Itulah yang disebut Iwan sensasi mengikuti kelenturan sifat benang-benang jala.
Seniman lainnya, Oktaviyani, menjadikan benang sebagai media ekspresinya. Dari jauh, karya perempuan yang akrab disapa Yani itu terlihat seperti lukisan dari cat pada umumnya. Cobalah mendekat, Anda bakal melihat perbedaannya. Warna-warni dari karyanya tersebut tercipta dari benang-benang.
Yani menyusun benang-benang yang umumnya digunakan untuk menjahit itu sebagai ’’cat’’ pada karyanya. ’’Saya menempelkan benang-benang ini sampai permukaan kanvas tidak terlihat lagi, lagi,’’ jelasnya. Satu karya bisa terdiri atas beberapa lapisan. ’’ Tiga hingga lima tumpukan benang saya pakai,’’ kata seniman asli Padang itu. Teknik lapisan tersebut juga berfungsi sebagai penguat agar benang-benang tidak cepat lepas.
Selain itu, karya Suranto tidak kalah menarik perhatian. Dia menyusun batu bata berukuran 24 mm x 12 mm x 5 mm atau sepersepuluh dari ukuran normal menjadi karya seni. Susunan batu bata yang tentu membutuhkan ketelatenan, kesabaran, dan kerapian dari pembuatnya.
Susunan batu bata itu terlihat pada karya berjudul Sarang Semut dalam pameran kali ini. Suranto membuat bentuk sarang semut dari sekitar 2 juta batu bata mini. Proses itu tidak mudah sebagaimana yang terlihat. Suranto membuatnya dari bawah. Batu bata mini dicetak sendiri oleh seniman 37 tahun tersebut.
Sebagai identitasnya, ada cetakan kata ART dan SRT (inisial namanya) dalam setiap cetakan batu bata yang digunakan. Setelah itu, Suranto menyusunnya menjadi bentuk yang sesuai dengan idenya. ’’Kenapa sarang semut? Saya suka dengan filosofinya yang penuh dengan semangat dan gotong royong saat membangun sarang ini,’’ jelas Suranto. (bri/c15/jan)