Jawa Pos

Memaknai Masa Lalu

- A.S. Laksana, cerpenis, kini mengikuti program residensi kepenulisa­n selama tiga bulan di Finlandia Oleh A.S. LAKSANA

TENTANG ingatan, penulis Elie Wiesel, salah seorang yang selamat dari kekejaman Nazi, menyatakan, ”Tanpa memori, tidak akan ada budaya. Tanpa memori, tidak akan ada peradaban, tidak akan ada masyarakat, tidak akan ada masa depan.”

Masa Hitler adalah masa sovinisme (sauvinisme) yang gila. Satu orang yang memegang kekuasaan memiliki gagasan tidak waras tentang ras unggul dan kelompok-kelompok yang harus diberantas, dan orang-orang lain mengamini gagasannya serta mematuhi perintah gilanya. Mereka menjalanka­n program pemusnahan masal terhadap Yahudi, gipsi, dan kelompok-kelompok lainnya yang ditetapkan sebagai sampah.

Kedua orang tua Elie dan adik perempuann­ya yang masih kecil meninggal di kamp konsentras­i. Elie dan kedua kakak perempuann­ya berhasil diselamatk­an sekutu, melanjutka­n sekolah di Universita­s Sorbonne, dan kemudian menjadi wartawan. Sepanjang hidupnya ia telah menulis 31 buku, hampir semua berpusat pada ingatan tentang kegilaan di masa lalu yang ia alami dan genosida-genosida lain yang terjadi di berbagai tempat. Sejak 1955 ia pindah ke Amerika Serikat dan kemudian menjadi pengajar ” Literature of Memories” di Universita­s Boston. Elie meninggal tahun lalu pada usia 88 tahun. Saya tidak akan membicarak­an

holocaust atau hal-hal suram dari masa lalu. Saya hanya teringat begitu saja pernyataan Elie Wiesel tentang memori ketika berjalan-jalan pada Minggu siang di akhir September ke Desa Fiskars, 100 kilometer di sebelah barat Helsinki.

Fiskars tidak jauh dari tempat saya menginap di Pohja, hanya 4 kilometer kurang lebih. Menurut Google Map, saya hanya membutuhka­n 55 menit berjalan kaki. Tempat ini udaranya jernih. Saya pikir saya sanggup berjalan kaki 55 menit di tempat yang udaranya jernih. Saya pernah naik Gunung Lawu, pernah naik Gunung Slamet, pernah naik Gunung Merapi; tidak ada masalah untuk berjalan kaki ke Fiskars.

Rupanya saya keliru tentang diri sendiri. Memang saya sanggup berjalan kaki dari tempat penginapan ke Fiskars dan sebaliknya, melewati jalanan menanjak di antara hutanhutan kecil, melewati tepi danau tempat sauna, tetapi pada malam harinya kedua kaki saya kram dan rasa ngilunya bertahan hingga tiga hari.

Namun, itu urusan sepele yang tidak mengurangi kegembiraa­n saya membaca segala kenangan di Fiskars. Di desa itu segala hal diberi catatan: rumah-rumah, taman, sungai, gedung pertemuan, jam, dan sebagainya.

Satu catatan yang menyentuh hati adalah tentang lokomotif. Di tengahteng­ah Desa Fiskars ada sebuah lokomotif uap dengan warna hijau dan hitam bernama Pikku-Passi, artinya kambing kecil. Ia lokomotif pertama Finlandia, dengan ukuran mungil, berjalan melewati rel kecil, mengangkut bahan baku besi tempa dan mendistrib­usikan produk-produk dari Fiskars ke tempat-tempat lain. ”Dulu Pikku-Passi menjadi bagian dari kegembiraa­n kita,” bunyi catatan itu, yang ditulis pada lempengan logam. ”Pada hari perayaan, kita semua dan juga para selebriti menikmati tamasya di dalam gerobak-gerobak yang ditarik olehnya. Setelah jalurnya ditutup, sekarang Pikku-Passi tercinta ini menganggur, kehujanan dan kedinginan di luar. Saatnya bagi kita semua untuk membantu Pikku-Passi. Anda juga bisa ikut membantu.”

Saat ini Museum Fiskars sedang mencanangk­an proyek penyelamat­an si kambing kecil Pikku-Passi. Lokomotif itu akan berusia 130 tahun pada 2019 dan pada tahun itu pihak museum berharap Pikku-Passi bisa hidup kembali dan orang-orang bisa mendengark­an lagi peluit kambing kecil mereka.

Mereka tahu cara merawat ingatan dan kenapa mereka melakukann­ya. Bahkan, jalanan dan sungai juga diberi catatan. Kita menjadi tahu bahwa rumah-rumah di sepanjang tepi jalan itu, yang dulunya ditempati para pekerja pabrik barang-barang dari besi, masih sama bentuknya dengan saat mereka kali pertama dibangun pada 1820-an dan 1830-an. Orangorang juga akan selalu ingat fungsi penting sungai itu di masa lalu –sebagai jalur transporta­si, sebagai pembangkit tenaga listrik, serta tungku pemanas besi tempa– dan mereka merawatnya dengan baik hingga sekarang.

Pada sore hari saya masuk ke taman kecil di tepi sungai. Ada beberapa bangku di taman itu dan saya ingin duduk-duduk di sana. Di mulut jembatan saya dihadang satu catatan:

”Ketika pusat industri Fiskars dipindahka­n keluar dari desa tersebut, nasib desa menjadi agak terkatungk­atung. Untungnya, Ingmar (Inko) Lindberg, si pemimpin perusahaan, segera mengambil tindakan untuk memberikan napas baru bagi Desa Fiskars. Taman ini dipersemba­hkan olehnya untuk warga desa dan siapa pun yang datang ke Fiskars. Ia dibuka pada 23 Januari 2009, ketika Inko pensiun dari perusahaan Fiskars. Silakan duduk sejenak dan menikmati suasana Desa Fiskars.”

Saya duduk sejenak menuruti saran pada lempengan logam itu, menikmati suasana, dan mengingat satu orang lain lagi yang selamat dari Nazi, Viktor Frankl. Ia tidak marah dan menjadi pahit oleh pengalaman mengerikan di kamp konsentras­i. Ia memaknai pengalaman­nya secara berbeda, yakni manusia adalah makhluk yang kuat dan perkasa; mereka bisa selamat dalam situasi sesulit apa pun.

Mengenai masa lalu, ia menulis dalam bukunya, Man’s Search for Meaning: ” Yang paling penting bukan apa yang kita alami, tetapi bagaimana kita memaknai pengalaman kita.” (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia