Jawa Pos

Baboe Laoet

- OLEH ARMAN A.Z.

TELAH bulat hati Banah untuk meninggalk­an kampung halaman. Sepekan sebelum berangkat, dua tumpuk pakaian dikemas rapi dalam koper. Dari dalam peti kayu yang lama teronggok di kolong ranjang, dikeluarka­nnya gaun perempuan Eropa, sepatu yang masih muat di kaki, mantel lusuh cokelat, dan topi beludru hitam. Saat ikut majikan terakhirny­a, mevrouw yang baik hati membelikan semua itu di pasar loak yang digelar sepekan sekali.

Minyak kayu putih tidak ketinggala­n. Cairan harum dalam botol beling cokelat tua itu nyaris tak pernah ketinggala­n dibawa ke mana pun Banah pergi. Botol itu sudah tiga generasi. Emak membelinya saat Banah masih kecil. Hingga Banah punya anak satu, botol itu masih dirawatnya. Cairan harum dibuluri di punggung saat terasa masuk angin atau digigit serangga.

Dua bulan lalu Banah memergoki iklan di Soerabaija­sch Handelsbla­d. Ada keluarga mencari babu laut. Sekarang atau tidak sama sekali, demikian pikir janda dua puluhan tahun itu. Sendirian Banah menyambang­i alamat yang tertera di koran. Pengalaman dua kali jadi babu laut jadi modalnya.

Meneer Willem, namanya. Lelaki jangkung itu harus pulang ke Belanda, mengurus tugas kantor yang tak bisa diselesaik­an lewat suratmenyu­rat. Bocah lelakinya yang berumur empat tahun hendak dibawa serta. Yang tak Banah duga, itu meneer ternyata duda. Istrinya meninggal tahun lalu karena disentri parah. Banah menerka usia itu meneer tidak terpaut jauh di atas usianya. Dia fasih cakap Melayu meski terdengar aneh. Sesekali Banah melontar kalimat sederhana dalam bahasa Belanda yang dihafalnya, sekadar membuktika­n bahwa ia tidak asing dengan bahasa itu.

Kedatangan pertama Banah ke rumah mentereng itu berbuntut. Banah diminta datang menghadap lagi seminggu kemudian. Tak seperti pertemuan pertama, Meneer Willem nampak lebih santai di pertemuan kedua. Banah tidak diperlakuk­an seperti calon babu laut. Bahkan, pada pertemuan ketiga, dia menyuruh sopirnya mengantar Banah pulang. Tebersit curiga dan khawatir dalam benak Banah. BABU laut, julukan perempuan pribumi yang kerja di kapal selama perjalanan ke Belanda. Tak seperti babu umumnya, tugas utama mereka mengasuh anak majikan selama di laut. Iklan lowongan babu laut biasanya tertera di koran atau di kertas yang ditempel di tempat ramai. Isinya keluarga yang membutuhka­n, jadwal berangkat, dan di mana babu laut mesti menghadap. Babu laut yang sudah berpengala­man, lebih berpeluang diterima. Kadang ada syarat lain yang unik, misalnya bisa merajut atau main kartu untuk menemani mevrouw mengusir jenuh selama perjalanan.

Bukan mudah jadi babu laut. Majikan lebih suka babu laut yang paham adab dalam lingkungan keluarga Belanda. Majikan mana yang senang pada babu laut yang gampang sakit, tak kuat diamuk gelombang lautan. Bagaimana bisa bekerja jika mengurus badan sendiri saja kerepotan. Babu laut menjengkel­kan macam itu tamatlah karirnya. Belum lagi tiada jaminan bila terjadi musibah selama perjalanan hingga saat di Belanda.

Umumnya babu laut bekerja pada keluarga Belanda yang cuti, pensiun, atau amtenar yang harus mengurus tugas kantor. Berapa lama di sana, tergantung majikannya. Ada yang kerjanya saat pergi saja, lalu pulang bersama keluarga lain yang hendak ke Hindia Belanda. Sembari menunggu peluang pulang yang tak pasti waktunya, mereka menumpang tinggal di tempat orang-orang Hindia Belanda yang sudah lama menetap di Belanda. Bila tak kunjung ada lowongan babu laut ke Jawa, mereka terpaksa keluar ongkos sendiri untuk pulang. Mereka yang enggan pulang, mencari kerja di tempat-tempat bersuasana Hindia Belanda; jadi koki di restoran India atau jadi babu tetap di keluarga Belanda.

Bila memergoki perempuan bertubuh kecil, berkulit gelap atau sawo matang, dan berkebaya lalu-lalang di kota-kota besar di Belanda, menuntun sinyo atau mendorong gerobak bayi; merekalah babu-babu laut Hindia Belanda. Upah mereka lebih kecil dibanding bantuan bulanan untuk seorang penganggur­an di Belanda. Namun bagi para babu laut, itu bukan masalah.

Di Den Haag ada rumah persinggah­an bagi babu laut. Pemiliknya seorang perempuan tua yang sudah lama menetap di sana dan mendirikan perkumpula­n untuk kaum hawa Hindia Belanda di Belanda. Halaman rumahnya sempit, langit-langitnya rendah. Para babu laut yang enggan pulang atau menunggu kesempatan pulang, berjejal di dalamnya. Banah akan menetap sementara di sana, meski persinggah­an itu dicemooh sebagai baboearium, akuarium tempat menampung babu laut. PENGALAMAN sekali menikah sudah cukup buat Banah. Saat lakinya hendak kawin lagi, Banah murka. Bini mana bersukacit­a bila dimadu. Setelah perang mulut berlarut-larut, Banah memilih cerai. Putrinya kini tinggal bersama kakek-neneknya. Kabar angin yang mampir di telinga Banah, nasib bekas lakinya tidak lebih baik ketimbang saat bersamanya.

Tak sampai enam purnama Banah kerja di pabrik gula. Status janda membuatnya kerap jadi gunjingan dan lirikan lelaki iseng. Mandor bangor bertubuh tambun berkumis tebal, hampir tiap hari bikin ulah; menepuk atau meremas bokongnya sembari lewat. Bahkan pernah mencolek dadanya saat jam istirahat. Daripada makan hati, Banah berhenti kerja tanpa pamit sama sekali.

Dan di sinilah Banah sekarang, di antara hiruk-pikuk manusia dan desau angin laut, membuntuti Meneer Willem. Sinyo rambut pirang berada dalam genggaman tangannya. Meniti tangga masuk ke perut kapal, bau laut dan mesin kapal, bercampur aroma parfum dan keringat penumpang membuat bulu tengkuk Banah meremang. Dalam perut kapal, Banah sudah paham apa yang mesti dikerjakan; cekatan menata letak koper dan tas di kabin, juga mengurus sinyo yang mulai rewel. Di geladak banyak orang Belanda yang hendak pulang. Beberapa dari mereka saling kenal. Banah sempat melihat Meneer Willem mengobrol dengan seorang lelaki Belanda.

Berhari-hari dalam kapal, sejauh mata memandang semesta air belaka. Melihat gugusan pulau samar-samar di kejauhan. Ketika kapal bersandar di pelabuhan, betapa riang penumpang kapal, tak terkecuali Banah. Akhirnya melihat daratan setelah berhari-hari di lautan. Namun Banah belum bisa leluasa, dia hanya bisa berjalan di sekitar pelabuhan, menunggu kapal melanjutka­n perjalanan.

Untuk menepis jenuh diajaknya sinyo menyusuri lorong-lorong kapal. Jika malam, saat Meneer Willem dan sinyo sudah pulas, Banah mengendap ke geladak. Tidak dipedulika­n angin laut yang membuat tubuhnya menggigil. Minyak kayu putih dalam botol tak dilupakann­ya. Cairan itu membantu menghangat­kan tubuhnya saat menggigil di tengah lautan atau saat di Belanda nanti.

Kapal mengangguk-angguk dibuai ombak di tengah lautan yang tak Banah ketahui namanya. Banah ingat kali pertama menapakkan kaki di Pelabuhan Rotterdam. Dirinya bagai katak menyembul keluar dari tempurung. Degup jantungnya tak karuan melihat orang-orang kulit putih pucat badan tinggi besar lalulalang di sekitarnya. Dari bangunanba­ngunan bertembok bata merah, orang-orang melongok sejenak dari jendela lalu kembali masuk ke ruangannya. Celoteh dalam bahasa asing dan teriak kuli-kuli pelabuhan membuat kepalanya pusing. Dari gudang-gudang bertembok kelam, angin mengirim aroma cengkeh, lada, kopi, dan tembakau ke cuping hidungnya. Sudah berapa ratus kapal hilir mudik mengunjal rempahremp­ah dari Hindia Belanda?

Kapal berlomba dengan waktu dan kebosanan para penumpang. Terbersit kerinduan Banah pada derik jangkerik serangga malam lainnya. Sedang apa bapak emak di kampung? Petuahpetu­ah mereka keluar masuk kupingnya. Dari sana dia bisa mengirim uang untuk mereka dan putri semata wayangnya. Andai mantan suami dan mandor bangor menjelma di depannya saat itu, Banah akan tersenyum sinis, bahkan buang ludah di depan dua lelaki keparat itu.

Meneer Willem menatap tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapan harimau jantan kepada rusa betina yang lemah. Meneer Willem memuji kemolekan pinggul Banah. Saat itu Banah melihat pintu masa depan terkuak lebar di depan mata. Pucuk dicinta ulam tiba, pikirnya. Banah siap saja menjadi nyai Meneer Willem, yang penting niatnya meninggalk­an kampung bisa tercapai. Meneer suka aroma minyak kayu putih.

Ada nyai yang mujur dibawa lakinya ke Belanda dan menetap di sana; meski lebih banyak yang sengsara. Banah kerap mendengar ihwal nyai yang dicampakka­n begitu saja oleh

meneer- nya, bahkan anak hasil hubungan mereka turut dibawa pulang. Seorang meneer tak wajib bertanggun­g jawab pada nyai.

Kampung halaman menyesaki batinnya dengan nestapa belaka. Banah yakin kehidupan akan lebih baik di benua jauh. Menatap matahari terbit di tengah lautan, Banah bagai melihat masa depannya yang benderang.

BERSUA dan bertukar sapa dengan sesama babu laut di kapal membuat kesepian Banah terobati. Beberapa dari mereka sudah biasa mondar-mandir Jawa-Belanda. Jika ada kesempatan berkumpul, mereka ngobrol ngalorngid­ul; tentang keluarga, majikan, pengalaman di negeri orang, meledek babu laut yang lagak-lakunya menyerupai mevrouw. Juga membahas kelakuan beberapa babu laut yang merayakan malam tahun baru dengan mencarter taksi lalu fakansi keliling Den Haag dan Rotterdam hingga ambang subuh.

Hidup dikuntit kemiskinan dan hinaan tentu menyakitka­n, bagai kurap yang melekat di sekujur badan. Bersandar pada harapan dan impian.

’’ Bedinde bukan sembarang bedinde, bedinde bisa melihat dunieee...,” gurau seorang babu laut. ’’Jadi zeebaboe lebih baik ketimbang jadi buruh pabrik,” celetuk babu laut lainnya. ’’Apalagi jadi nyai…”

Banah terkesiap. Celetukan teman baru di sebelah kirinya membuat air muka Banah berubah. Serasa ada yang menohok sanubariny­a. Sebisa mungkin dia menyembuny­ikan kegelisaha­nnya. Mereka tidak tahu, Banah babu laut sekaligus nyai.

Botol minyak kayu putih terlepas dari genggaman tangan Banah. Sia-sia tangannya menjangkau, botol itu lebih cepat terjun bebas ke lautan, ditelan bunyi ombak membentur badan kapal. Dalam gelap, susah payah mata Banah memastikan melihat botol itu untuk terakhir kalinya. Tulang dalam tubuh Banah lemas lunglai. Parasnya pucat. Nafasnya tertahan lama di kerongkong­an. Jangankan berteriak, bergumam pun tak sanggup lagi. Tiba-tiba Banah dicekam kesedihan. Tiada lagi yang bisa mengingatk­annya pada kampung halaman dan keluarga. Segala yang tersayang, yang tersisa un- tuk dikenang, telah hilang. *** Bandarlamp­ung, 2017

ARMAN A.Z. menulis di media massa nasional dan daerah. Karyanya tergabung di sejumlah antologi. Antara lain, antologi Cetik (1999), Graffiti

Imaji (2002), Cermin & Malam Ganjil (2002), 20 Tahun Cinta (2003), dan Wajah di Balik Jendela (2003).

 ?? BAGUS HARIYADI/JAWA POS ??
BAGUS HARIYADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia