Kontroversi Densus Tipikor
MABES Polri berambisi membentuk Densus Tipikor, sebuah detasemen yang spesialis menangani korupsi. Harapannya, densus tersebut kelak dapat beroperasi sebagaimana garangnya Densus 88 Antiteror dalam memberantas pelaku terorisme. Densus Tipikor butuh anggaran Rp 2,69 triliun! Kini pembentukan densus itu tinggal menunggu persetujuan Presiden Jokowi.
Dengan kehadiran Densus Tipikor, praktis nanti ada lima lembaga khusus yang menangani korupsi. Yakni KPK, Kejaksaan Agung, Tim Saber Pungli, Bareskrim, dan Densus Tipikor. Lima lembaga tersebut bebas menangani kasus korupsi, tak berdasar nilai kerugian negara dan latar belakang pelaku.
Tak jelas pula siapa lembaga superbodi yang bertugas melakukan supervisi. Secara perundang-undangan, KPK memang supervisor penanganan korupsi di kepolisian dan kejaksaan. Namun, entah mengapa beberapa tahun ini tugas itu tidak pernah dijalankan atau mungkin ada pihak yang sengaja mengerdilkan tugas tersebut.
Kita mengapresiasi rencana pembentukan Densus Tipikor. Kita pakai logika sederhana saja: semakin banyak penegak hukum pemberantas korupsi, semakin efektif penanganan korupsi, ujung-ujungnya orang makin takut korupsi. Ada harapan, lima lembaga tersebut bakal mengeroyok praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meski demikian, jangan sampai kehadiran Densus Tipikor menjadi bumerang. Khususnya soal koordinasi penegakan hukum. Lima lembaga itu diharapkan tidak berebut menangani korupsi. Ada kekhawatiran, bila terjadi tumpang-tindih, kepentingan di luar pemberantasan korupsi dari pihak lain akan menyusup.
Karena itu, pimpinan lima lembaga tersebut sebaiknya duduk bersama membicarakan kewenangan Densus Tipikor berikut koordinasi penegakan hukum kasus korupsi. Densus Tipikor harus punya cetak biru ( blueprint) kelembagaan yang jelas. Demikian juga Tim Saber Pungli, Bareskrim, dan Kejaksaan Agung. KPK harus mengambil peran sebagai pimpinan semua lembaga pemberantas korupsi sebagaimana perundang-undangan.
Yang terpenting lagi, Presiden Jokowi harus turun tangan membenahi mekanisme koordinasi dalam penanganan korupsi. Presiden harus memiliki political will yang jelas agar lima lembaga itu tidak punya tafsir sendirisendiri tentang penegakan hukum kasus korupsi. (*)