Importer Keluhkan Biaya Logistik Tinggi
Pemerintah Libatkan dalam Perumusan Kebijakan
JAKARTA – Pelaku usaha impor beranggapan regulasi yang ada belum cukup optimal untuk mendukung kinerja. Meski dwelling time atau waktu bongkar muat sudah ditekan menjadi tiga hari, biaya logistik dan bea cukai masih tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita mengakui, tarif pelabuhan dan bandara, termasuk bea masuk, di Indonesia relatif tinggi. ’’Pemerintah perlu berusaha serius menurunkan tariftarif tersebut. Tarif-tarif itu menjadi sumber pemasukan bagi BUMN, bahkan pemerintah, dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak,’’ ujarnya kemarin (15/10).
Menurut Zaldy, perlu ada perubahan aturan bea cukai sehingga tidak memberatkan pengguna jasa. Namun, di sisi lain juga melindungi produksi dalam negeri.
Ketua Gabungan Importer Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Anthon Sihombing menyebutkan, ada biaya-biaya yang seharusnya dapat dipangkas sehingga Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Salah satunya, biaya jaminan kontainer. ’’Negara maritim sebesar ini malu kalau masih ada biaya jaminan kontainer. Semua sudah melalui asuransi, itu negara maju,’’ katanya.
Anthon menambahkan, selain biaya logistik, proses di bea cukai tidak berjalan mulus. Banyak anggota GINSI yang mengeluhkan barang-barang mereka susah keluar. Menurut Anthon, ada dua penyebabnya. Pertama, importer tidak mengikuti aturan yang berlaku. Kedua, pihak bea cukai belum bekerja secara profesional dan terbuka untuk mempercepat arus keluar masuk barang.
’’Kesulitan yang mereka dapat di pelabuhan, antara lain, di bea cukai. Dwel- ling time yang diharapkan presiden sudah tercapai, tapi biaya di pelabuhan masih sangat tinggi,’’ katanya.
Karena itu, menurut Anthon, perlu ada peningkatan koordinasi dengan wadah seperti GINSI sebagai mitra pemerintah yang dapat memberikan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. ’’Mereka harus dilibatkan agar semua dapat terakomodasi,’’ ujarnya.
Anthon juga meminta dukungan pemerintah untuk mendata seluruh importer. Pendataan tersebut diperlukan untuk meminimalkan adanya oknum importer nakal.
Dengan pendataan tersebut, pengusaha yang melakukan impor merupakan importer tepercaya dan mempunyai rekomendasi dari GINSI. Sebab, saat ini masih banyak oknum importer yang lolos memasukkan barang ke Indonesia. Ada beberapa modus yang dilakukan. Misalnya, barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang tertera dalam dokumen perizinan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, organisasi atau perkumpulan para pengusaha seperti GINSI adalah mitra yang memegang peran penting. Terutama dalam perumusan kebijakan ekspor dan impor. ’’Sekarang jelas, kami bisa berkoordinasi dengan siapa terkait tata kelola impor ini,’’ ujarnya.
Menurut Oke, keberadaan BPP GINSI bisa mempermudah sosialisasi kebijakan pemerintah kepada pengusaha atau importer. Dia berharap BPP GINSI juga berperan dalam mengurangi ketergantungan impor. ’’Tentu itu sangat penting kami komunikasikan sehingga program pemerintah dapat berhasil tanpa harus mengurangi kebutuhan kita sebagai negara yang bergerak dalam perdagangan internasional,’’ tandas Oke. ( agf/c7/fal)