Tidak Efektif, Biaya Kemahalan
PRAKTISI teknologi informasi (TI) dan ahli keamanan informasi ITB Budi Rahardjo menilai penggunaan mesin sensor internet tidak akan berpengaruh banyak terhadap pengurangan jumlah konten negatif yang beredar di internet. Menurut dia, setiap situs berkonten negatif yang diblokir akan memicu munculnya situs serupa baru. ”Diblokir, mereka akan pindah domain dan IP address. Susah,” kata lulusan Manitoba University, Winnipeg, Kanada, tersebut kepada Jawa Pos kemarin (15/10).
Ketimbang melakukan penyisiran dengan mesin sensor internet yang efektivitasnya masih diragukan, Kemenkominfo sebaiknya melakukan edukasi. Menurut Budi, permasalahan itu tidak hanya diselesaikan di hilir. Hulu pun memerlukan perhatian khusus. ”Edukasi kepada masyarakat ini penting,” ucapnya. Kemenkominfo juga harus membanjiri internet dengan konten- konten positif sehingga lamakelamaan konten negatif tidak lagi mendapat tempat. ” Ya, 80 persen isinya positif. Nanti juga sudah tidak ada lagi yang peduli dengan konten negatif,” kata ITpreneur di balik domain .id itu.
Di sisi lain, ada cara yang jauh lebih efektif untuk menekan jumlah konten negatif yang beredar di internet. Yakni, follow the money. Mencari siapa dalang di balik konten-konten negatif itu. Namun, tentu hal tersebut sudah tidak menjadi kewenangan Kemenkominfo. Melainkan kewenangan pihak kepolisian. ”Pelakunya harus dikejar dan diberi efek jera,” ucap dia.
Soal anggaran yang menyentuh angka Rp 211 miliar untuk pengadaan mesin tersebut, Budi merasa angka tersebut terlalu besar. Memang, menyediakan software dan storage pendukung butuh anggaran besar. Tapi, sepertinya tidak sebesar itu. Budi mengaku belum terlalu memahami juga akan seperti apa mesinnya nanti. ”Tapi, kalau hanya untuk crawling, angka tersebut memang terlalu besar,” ujarnya.
Hal tidak jauh beda dilontarkan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Laksana Tri Handoko. Menurut dia, menggunakan metode tersebut sangat memungkinkan karena prinsipnya sama dengan sensor di program internet sehat. Namun, akurasinya tidak bisa 100 persen. ”Malah mungkin hanya lebih kurang 60 persen. Setidaknya ini akan mengurangi konten negatif di internet,” tuturnya. (and/tau/c10/oki)
Ya, 80 persen isinya positif. Nanti juga sudah tidak ada lagi yang peduli dengan konten negatif.” Budi Rahardjo, Praktisi TI ITB