Jawa Pos

Kesetiaan Itu Bernama Choirul Huda

-

HATI Choirul Huda ada di Surajaya. Tidak akan berpindah dan selalu di sana. ’’Surajaya adalah rumah saya,’’ ungkapnya saat berbincang dengan saya beberapa waktu lalu.

Di Surajaya-lah dia menumbuhka­n dan meneguhkan mimpinya menjadi pesepak bola. Di stadion itu pula Huda merawat mimpinya tersebut. Memupuknya dengan berlatih, berlatih, dan berlatih.

Di stadion itulah hari-harinya dihabiskan. Jauh sebelum Persela Lamongan terbangun dari tidurnya (Persela lahir pada 1967. Tetapi, tidak lama setelah kelahirann­ya, Persela tertidur panjang. Bahkan, sangat panjang) pada pertengaha­n 2000.

Huda berada di Surajaya sejak stadion tersebut hanya digunakan untuk turnamen sepak bola antar kecamatan di Lamongan. Turnamen itu pun hanya ada sekali dalam setahun.

Huda sudah di Surajaya ketika stadion tersebut baru memiliki tribun barat yang tidak terlalu terawat. Lelaki kelahiran 2 Juni 1979 itu sudah di sana semasa tanah stadion tersebut selalu retak-retak di kala musim kemarau. Retakan itu sangat membahayak­an siapa saja yang bermain di sana.

Huda sudah di Surajaya saat lapangan stadion tersebut selalu becek dan berlumpur ketika musim hujan. Saat rumputnya tumbuh sangat liar dan tingginya bisa sampai selutut orang dewasa ketika musim hujan.

’’Saya akrab dengan Surajaya sejak memasuki bangku SMA,’’ katanya.

Tatkala berseragam putih abu-abu itu, Huda berlatih bersama Merpati, klub lokal Lamongan. Bersama kawan-kawannya di Merpati, Huda mengasah kemampuan memainkan bola di Surajaya. Kadang juga di Alun-Alun Lamongan.

Tiga kali dalam sepekan dia lalui dengan berlatih di Surajaya. Bahkan, terkadang lebih. Sebab, Huda yang bersekolah di MAN Lamongan juga acap berlatih bersama tim sepak bola SMA Negeri 2 Lamongan.

Saya pun masih mengingat itu. Kebetulan saya merupakan bagian dari tim tersebut. Di tim SMAN 2 saat itu, pelatih dan kebanyakan pemainnya juga merupakan bagian dari Merpati.

Karena itu, sangat wajar kalau Huda akhirnya menjadi bagian dari Persela ketika kesebelasa­n tersebut terbangun dari tidur panjangnya. Apalagi, Persela juga berumah di Surajaya. Stadion yang dianggap Huda sebagai rumahnya.

Ditambah lagi, kebangkita­n Persela dibarengi dengan semangat untuk mempromosi­kan Lamongan ke publik Indonesia. (Sebelum 2000, tidak banyak orang yang mengenal Lamongan. Orang Lamongan yang merantau juga tidak terlalu percaya diri menyebut dirinya berasal dari Lamongan ketika ditanya soal identitasn­ya. Umumnya mereka menyebut nama Surabaya sebagai tempat asalnya).

Semangat itu hanya bisa dicapai jika orang-orang di dalamnya memiliki gelora yang sama. Memiliki cinta dan kebanggaan. Maka, memilih pemain-pemain asal Lamongan adalah kewajiban. Merekalah yang mempunyai gelora, cinta, dan kebanggaan tersebut. Lagi pula, kemampuan mereka dalam olah si kulit bundar sebenarnya juga tidak kalah.

Huda menjadi buktinya. Lelaki yang lahir dan besar di Lamongan itu tidak hanya pantas dipercaya mengawal gawang Persela. Tetapi, dia juga sangat tepat dipercaya untuk memimpin rekan-rekannya memasuki lapangan sekaligus melakoni pertarunga­n demi pertarunga­n. Huda tenang dan tidak meledak-ledak. Namun, suaranya dari bawah mistar tetap lantang kala memberikan komando. Juga saat menyuntikk­an motivasi kepada rekan-rekannya. Sebagai kiper, posturnya menyakinka­n. Tingginya mencapai 185 cm. Refleksnya pun mengagumka­n. Huda juga tidak pernah segan dan sungkan berduel dengan lawan. Tidak pernah malas menjatuhka­n badannya ke tanah untuk menghalau atau menangkap bola. Huda merupakan lelaki yang setia. Memahami hatinya. Juga kepercayaa­n yang diberikan kepadanya. Dia tidak pernah tergoda untuk meninggalk­an Surajaya dan Persela. Sekalipun godaan untuk pergi selalu datang dan begitu besar. Setiap tahun ada saja yang mengajak dia menanggalk­an kostum Persela. Setiap musim senantiasa ada yang mengajakny­a ke Surajaya sebagai tamu.

Namun, Huda selalu menempatka­n hatinya di Surajaya. Juga di Persela. Dia tidak ingin pergi dan akan selalu di sana. Tahun ini adalah tahun ke17 Huda berkostum Persela. Menjadi bagian dari perjalanan panjang nan berat. Merangkak dari level terbawah Divisi II hingga level tertinggi kompetisi Indonesia.

’’Sepak bola itu tidak hanya tentang menendang bola. Bukan sematamata tentang menangkap bola kalau bagi kiper. Tetapi, sepak bola itu juga tentang kenyamanan,’’ ujarnya.

Berkostum Persela dan bermain di Surajaya adalah kenyamanan baginya. Dengan bermain di Surajaya dan berkostum Persela, Huda selalu mendapat kehangatan lazimnya di rumah. Kehangatan dari rumah itu sendiri dan dari para penghuniny­a.

’’Bersama Persela saya selalu dekat dengan keluarga. Selalu merasa bangga membawa nama kota tempat saya lahir. Itu pasti tidak akan saya dapat di tempat lain,’’ ungkapnya.

’’Bersama Persela saya mendapat kehangatan manajemen, ofisial tim, dan suporter,’’ tambahnya.

Namun, seperti lazimnya di rumah, pasti juga ada pertengkar­an kecil di dalamnya. Di Surajaya, di rumahnya itu, Huda pun tidak melulu mendapat puja dan puji. Tidak melulu memperoleh hasil manis. Beberapa kali kekalahan dihadapiny­a. Beberapa kali caci maki melompat dari penonton dan mengarah kepadanya.

Tetapi, hal tersebut tidak lantas membuatnya sakit hati dan ingin pergi. Baginya, kekalahan dan kritik itu oksigen yang menyegarka­n perjalanan­nya. Menyegarka­n hatinya. Menebalkan cintanya. Bahwa di Surajaya dan Persela-lah hatinya berada sekaligus bersetia.

Dan Minggu sore, 15 Oktober 2017, Huda mengakhiri perjalanan­nya di sepak bola sekaligus perjalanan hidupnya di Surajaya. Dengan kostum Persela.

Selamat jalan kawan. Semua doa terbaik untukmu. (*) *) Wartawan Jawa Pos dan Penulis Buku Persela: Menegaskan Identitas Kami

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia