Sembilan Menit Lebih Cepat
Pelari Surabaya Jenny Hartanto sengaja memilih Chicago Marathon 2017 sebagai tempat melepas virgin marathon. Sejak awal dia memang ingin membuat kenangan indah dan tidak terlupakan pada pengalaman pertama merasakan lari sejauh 42,195 km.
BANYAK runners Indonesia yang ingin menaklukkan maraton pertama di ajang Abbott World Marathon Majors. Enam race tersebut diibaratkan grand slam di kejuaraan tenis dunia. Biasanya, race majors pertama yang dipilih adalah Berlin Marathon, Tokyo Marathon, atau London Marathon. Setelah menyelesaikan tiga race itu, baru merambah ke race majors di Amerika Serikat, yakni Chicago Marathon, New York City Marathon, dan Boston Marathon.
Jenny Hartanto ingin berbeda. Dia ingin finis maraton pertama di Amerika Serikat. Begitu merasa cukup siap untuk ikut race
marathon, dia langsung mendaftar ke Chicago Marathon 2017. Pada November 2016, dia resmi menjadi peserta Chicago Marathon 2017 melalui undian. Tidak perlu ikut melalui jalur charity yang berbiaya mahal hingga puluhan juta rupiah. ’’Sekali daftar langsung dapat. Beruntungnya saya,’’ kata Jenny kepada Jawa Pos.
Jenny berangkat bersama dua rekannya dari Surabaya dari komunitas WeeRun, Sasongko Basuki dan Joseph Kanginan. Di ajang yang diadakan 8 Oktober 2017 itu, Jenny menargetkan bisa finis dengan waktu 4 jam 30 menit. Target itu ditentukan berdasar hasil latihannya selama ini.
Hasilnya di luar dugaan. Jenny finis lebih cepat daripada target yang dicanangkan. Dalam result resmi yang dikeluarkan penyelenggara, Jenny menempati posisi 1.103 untuk kelompok usia 35–39 tahun. Perempuan 36 tahun itu finis dalam waktu 4 jam 21 menit 12 detik. Sembilan menit lebih cepat daripada target.
Yang lebih bangga, dari 110 pelari Indonesia yang tampil di ajang itu, Jenny finis di urutan ke-11. Menyusul di belakangnya, selisih 10 menit, Maulana Indraguna Sutowo, suami artis film Dian Sastrowardoyo.
’’ Sangat berkesan karena jumlah pesertanya 40.000 orang. Dan sepanjang trek banyak gimmick yang memberi semangat. Saya jadi semakin antusias,’’ ujar pemimpin sebuah bank swasta di Surabaya itu. Menurut Jenny, rutenya tidak membosankan. Sebab, meski start dan finis di tempat yang sama, Grant Park, tidak ada jalan yang dilintasi dua kali.
Perubahan cuaca saat race tidak diprediksi sama sekali oleh Jenny. Saat start, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, suhu udara di bawah 20 derajat Celsius. Namun, setelah kilometer 28, cuacanya cukup terik. ’’Suhunya mencapai 24 hingga 25 derajat. Di sana sudah termasuk kategori panas. Apalagi, menjelang finis tidak ada gedung yang membuat teduh. Tidak ada angin dan langsung terkena sinar matahari,’’ cerita Jenny.
Perempuan kelahiran Maluku, 28 Juni 1981, itu mengantisipasi perubahan cuaca dengan memanfaatkan water station secara optimal. Baik untuk sekadar minum air mineral maupun isotonik. Kelelahan hebat dirasakan pada kilometer 33. Namun, dia tidak ingin persiapan selama setahun berakhir sia-sia. Motivasi itu terbukti memberikan energi besar. Kalau pada kilometer pertama hingga 35 konsisten berlari dengan pace 6 (enam menit per kilometer), justru di 7 kilometer terakhir dia bisa meningkatkan kecepatan hingga pace 5. Bahkan sempat pace 4. ’’Rutenya flat. Hanya sekali terasa menanjak pada 2 kilometer menjelang finis,’’ katanya.
Selama setahun Jenny mempersiapkan diri menghadapi maraton pertamanya itu. Intensitas latihan ditambah pada tiga bulan terakhir. Setiap Minggu, Jenny melakukan
long run hingga 29 km. Seminggu sekali di setiap Selasa, dia rutin melakukan core
basic untuk memperkuat otot bersama teman-temannya di komunitas. Pada Rabu dan Jumat, dia berlari sejauh 5 kilometer. Khusus Sabtu, jaraknya antara 8 dan 10 kilometer. (nic/c19/tom)