Khawatir Seni Tradisi Diakui Orang
Nama Sri Wahyuni begitu familier dalam dunia budaya Kota Santri. Istri almarhum seniman Lenon Machali itu getol menghidupkan kesenian di Gresik. Dia penggagas Sekolah Macapat.
TEMBANG maskumambang mengalir merdu dari aula gedung dakwah Muhammadiyah. Seorang perempuan berkerudung merah muda melantunkannya dengan penuh penjiwaan. Nada khas tembang Jawa begitu kental.
Bukan hanya maskumambang. Tembang sinom, kinanti, dandanggula, dan balabak juga disuarakan bergantian oleh Sri Wahyuni. Ada 15 penikmat yang mendengarkan dengan khidmat. Salah satunya Mat Kauli, seniman macapat Gresikan.
Begitulah suasana komunitas Sekolah Macapat yang digagas Sri Wahyuni. Guru seni yang akrab disapa Uyun itu menekuni seni sejak SMP. Sri kecil sering pentas ke sana kemari. Pada 1975, dia bergabung dengan grup teater SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Setelah lulus SMA pun, dia mengajar seni di SD Muhammadiyah 2 Gresik.
Kecintaannya pada dunia seni semakin terpupuk. Sri memutuskan bergabung dengan sejumlah grup teater. Sering pentas teater di Kota Pudak. Beberapa grup teater membesarkan namanya. Ada teater mBesali, Melati, dan Teater 13 besutan Soetanto Soepiyadhi. Di grup Teater 13, Sri bertemu Lenon Machali, seniman teater terkenal di Kota Pudak. Mereka menikah.
Pada Juli 2016, perempuan yang juga meraih gelar guru musik terbaik Jawa Timur pada 2014 itu kehilangan sosok suami sekaligus partner terbaiknya. Lenon yang dijuluki Bapak Teater Gresik harus menyerah terhadap serangan gagal ginjal. Dia berpulang pada usia 63 tahun. Perempuan yang sudah dikaruniai tiga cucu tersebut mengaku begitu kehilangan sosok Lenon.
Namun, spirit Sri tidak hilang. Dia tetap bertekad menghidupkan kesenian di Gresik. Pembina Komunitas Cager itu lantas membentuk Sekolah Macapat pada Maret 2017. Semacam pendidikan luar sekolah yang khusus belajar tembang macapat.
Sekolah itu sudah punya beberapa murid. Mereka terdiri atas mahasiswa, dosen, dan guru musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) bahasa Jawa SMP. Mat Kauli, seniman macapat Gresik, menjadi guru utama di sekolah tersebut. Ada juga Sugeng Adipitoyo, dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Menurut Sri, guru bahasa Jawa perlu belajar tembang macapat. Sebab, tidak banyak yang bisa melantunkannya. Rata-rata hanya bisa membaca. Dia menilai hal itu sebagai ironi. Sebab, guru ikut bertanggung jawab atas keberlangsungan seni tradisi yang hampir punah. ”Semua orang harus mau menyelamatkan seni tradisi,” tuturnya.
Sepeninggal Lenon, perempuan kelahiran 1959 itu menjadikan Sekolah Macapat sebagai salah satu tempat kaderisasi calon seniman. Yang tidak kalah penting, kata Sri, menumbuhkan kecintaan masyarakat pada warisan dan kekayaan tradisi lokal. Jangan sampai tradisi tersebut diakui negara lain. ”Ini (macapatan, Red) mulai punah. Harus dijaga, jangan sampai malah diambil orang,” tegasnya. (c6/roz)