Jawa Pos

Jangan-Jangan Bukan soal Terorisme atau Bukan H

-

ANYA beberapa jam setelah Sayfullo Saipov menebar teror lewat truk di jalur bersepeda di Manhattan pada Selasa lalu (31/10), ”rutinitas” lama itu balik lagi. Warga Amerika Serikat (AS), seperti ditulis New York Times, berdebat tentang apakah serangan tersebut bisa dikategori­kan terorisme.

Sebab, Saipov yang mengakibat­kan delapan orang tewas dengan segera dicap teroris. Tapi, hampir sebulan sebelumnya, saat Stephen Paddock menembaki para penonton konser di Las Vegas serta mengakibat­kan 58 nyawa melayang, tak ada label tersebut.

Tentu kita sepakat bahwa tak ada ukuran dalam kekejian. Berapa pun korbannya, yang dilakukan Saipov dan Paddock sama kejinya.

Namun, kita tahu betapa bakal panjangnya konsekuens­i pelabelan terorisme. AS langsung menggempur Afghanista­n tak lama setelah menara kembar World Trade Center diserang ”teroris” pada 11 September 2001.

Karena aksi Saipov pula, AS bakal memperketa­t pengawasan arus warga asing yang masuk ke wilayah mereka. Padahal, sebelumnya, sejak awal berkuasa, Presiden AS Donald Trump sudah merancang aturan yang kemudian dikenal luas sebagai ” muslim ban.”

Terorisme, secara umum, bisa diartikan sebagai serangan ke warga sipil yang ditujukan memunculka­n ketakutan kepada komunitas yang lebih luas demi tujuan politis. Apakah Saipov masuk kategori itu? Apakah Paddock tidak? Jangan-jangan lone wolf seperti dua orang itu yang justru membuat batas antara terorisme atau tidak jadi kabur.

Atau jangan-jangan pula, setidaknya dalam kasus AS, persoalann­ya bukan terorisme atau bukan. Melainkan perkara yang selama ini juga selalu memicu perdebatan di Negeri Paman Sam itu: pengendali­an senjata. Bagaimana warga AS tidak rentan jadi serangan jika dari 100 orang di sana, 88 orang memiliki senjata?

Buntutnya, mengutip The Guardian, secara rata-rata AS adalah negara yang mengalami penembakan masal 11 kali lebih banyak ketimbang negara mana saja. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia