Berbisnis dengan AS di Era Trump
KTT APEC dan ASEAN akan menjadi agenda penting Indonesia pada awal November 2017. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump akan menghadiri pertemuan-pertemuan itu dengan membawa agenda perdagangan. Di sektor tersebut Trump kerap melempar kritik terhadap berbagai perjanjian multilateral seperti NAFTA serta mengancam bakal memberlakukan tarif atas barang impor dari beberapa negara.
Para pengamat menuduh mantan pebisnis ulung itu proteksionis, isolasionis, dan anti-pasar bebas. Apa pemikiran di balik retorika keras tersebut? Negosiator Indonesia perlu memahaminya untuk membangun strategi di meja perundingan. Tulisan ini membahas cara berpikir Trump dengan contoh kasus hubungan perdagangan AS dan Tiongkok.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Tiongkok menggenjot pembangunan infrastrukturnya. Kebutuhan baja meningkat dan dipenuhi peningkatan produksi dari 100 juta ton per tahun pada 1990-an menjadi 1 miliar ton sekarang. Ketika kondisi ekonomi mereka melambat beberapa tahun lalu, permintaan baja ikut menurun.
Sementara itu, pengurangan produksi tidak dilakukan secara drastis untuk menghindari terjadinya pengangguran yang tinggi. Tiongkok kemudian melempar kelebihan produksinya ke pasar dunia dengan harga yang murah (dumping). Pada 2016 Tiongkok berkontribusi 46 persen terhadap overkapasitas baja dunia. Sejak Januari sampai Juni 2016, industri baja AS kehilangan 14.500 lapangan kerja karena kalah bersaing. Dengan kata lain, lapangan kerja AS berpindah ke Tiongkok.
Praktik dumping bukan satu-satunya distorsi pasar bebas yang dilakukan Tiongkok. Mereka juga menyubsidi produksi beras, gandum, dan jagung. Pada 2015 pemerintah Tiongkok menyubsidi produk-produk tersebut melampaui ketentuan WTO dengan kelebihan subsidi USD 100 miliar. Praktik itu mengakibatkan produksi yang berlebihan dan menyulitkan petani AS untuk bersaing di pasar global. Riset yang disponsori US Wheat Associates pada 2016 menunjukkan bahwa praktik tersebut telah merugikan petani gandum AS sebanyak USD 650–700 juta per tahun.
Dengan melihat kasus-kasus di atas, ketika mengancam Tiongkok dengan tarif impor, Trump tidak sedang mempromosikan paham antipasar bebas. Justru sebaliknya yang benar. Pertama, dia ingin menciptakan persaingan yang adil ( a level playing field) bagi pelaku bisnis dan pekerja AS. Memang benar Trump ingin memproteksi rakyatnya. Namun, proteksi itu adalah reaksi, bukan aksi, terhadap ketimpangan perdagangan dan larinya lapangan kerja ke negara lain.
Kedua, dengan memberikan ”hukuman” bagi pelaku perdagangan yang curang, Trump mengharapkan mereka menghentikan praktik-praktik tersebut sehingga mekanisme pasar bebas bisa kembali berjalan tanpa distorsi. Prinsip-prinsip itu tertuang dalam dokumen The President’s 2017 Trade Policy Agenda yang diterbitkan Office of the United States Trade Representative.
Meskipun telah membuktikan ancamannya dengan memberlakukan tarif, misalnya, terhadap impor kayu dari Kanada, Trump berhati-hati dengan Tiongkok karena banyaknya kepentingan. Menyusul pertemuannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping awal April lalu, Tiongkok membuka pasarnya terhadap daging sapi AS dengan imbalan ekspor ayam yang sudah dimasak ke Amerika. Tiongkok telah menutup pasarnya terhadap produk daging AS sejak 2003 karena adanya penyakit sapi gila. Di masa pemerintahan Barack Obama, mereka berkali-kali berjanji membuka kembali pasarnya, tapi tidak pernah menepati.
Keberhasilan menembus kembali pasar daging sapi Tiongkok membuktikan bahwa pemerintahan Trump dapat menekan partner bisnisnya tanpa meninggalkan semangat win-win solution. Kerangka perundingan yang disukai adalah kerangka bilateral karena tiap negara bisa dihadapi sesuai dengan nature hubungan perdagangan yang ada. Trump menilai perjanjian-perjanjian multilateral yang ada seperti NAFTA tidak dinegosiasikan dengan baik oleh negosiator AS terdahulu sehingga AS menderita banyak kerugian.
Menambah daftar praktik distorsi pasar bebas, Tiongkok juga dituduh memanipulasi mata uangnya (renminbi) untuk mendongkrak ekspor. Ekspor yang besar ke pasar dunia akan meningkatkan permintaan dan nilai tukar mata uang negara pengekspor, yang pada akhirnya bakal menurunkan jumlah ekspor. Karena ingin mempertahankan ekspornya yang tinggi, Tiongkok ”merendahkan” nilai tukar renminbi dengan menggunakan pendapatan ekspornya untuk membeli bond Amerika. Dengan murahnya tenaga kerja di Tiongkok dan praktik-praktik yang diulas di atas, perdagangan AS dengan Tiongkok selalu defisit yang membengkak dari USD 83 miliar pada 2001 menjadi USD 347 miliar pada 2016.
Menghadapi praktik tersebut, Obama memasukkan Tiongkok ke dalam ” monitoring list”. Trump berkali-kali mengancam melabeli Tiongkok sebagai currency manipulator dengan sanksi tarif impor. Namun, Trump melunak setelah Tiongkok turun tangan menekan Korea Utara yang sedang mengembangkan senjata nuklir. Melalui Twitter, Trump mengumumkan, ” Why would I call China a currency manipulator when they are working with us on the North Korean problem?” Kemungkinan lain, Trump menahan diri karena akhir-akhir ini Tiongkok berusaha mencegah capital flight dengan meningkatkan nilai tukar mata uangnya.
Diplomasi tarik-ulur antara Trump dan Tiongkok menunjukkan pendekatannya yang pragmatis dan fleksibel. Apa pun dapat dipakai untuk menegosiasikan apa pun di meja perundingan bilateral dengan semangat win-win solution. Dalam pidato pertamanya di PBB September lalu, Trump mengimbau para kepala pemerintahan mendahulukan kepentingan rakyat masing-masing seperti dirinya juga mendahulukan kepentingan AS. Itulah Trump dengan pola pikir bisnisnya. Kita beruntung karena presiden Indonesia juga mantan pebisnis. Selamat bernegosiasi. (*) *) Alumnus program doktor di University of California, Davis